Jatengkita.id – Setelah sukses dengan genre heist di film bertajuk, “Mencuri Raden Saleh”, Angga Dwimas Sasongko kembali menggarap film action-suspense-spionage melalui, “13 Bom di Jakarta”. Benarkah Film ini benar-benar layak jadi Film aksi terbesar di Indonesia?
Meski dinilai terkesan pretensius oleh beberapa penikmat film, tetap saja tak bisa menutupi keunggulan dan banjirnya apresiasi publik terhadap film ini.
Desain produksi film ini terkesan mewah dan superpower karena banyak menampilkan action yang memukau dari aktor-aktris yang mumpuni.
Adegan peledakan mobil dan penggunaan senjata asli dalam film tentu menghabiskan skala produksi yang besar.
Sinematografi
13 Bom di Jakarta masuk dalam kategori film dengan usia tonton 17 tahun ke atas, mengingat banyaknya adegan saling tembak, kejar-kejaran mobil, ditambah laga pertarungan fisik di scene akhir, yang juga didominasi oleh adegan gore.
Tidak main-main, sedari opening hingga akhir, film ini menyuguhkan ketegangan yang memacu adrenalin. Penonton tidak akan mengantuk meski durasi tayang hampir mencapai tiga jam.
Angga juga berupaya memainkan emosi penonton dengan humor ringan di tengah tak beraturnya degup jantung.
Sequence kejar-kejaran mobil yang melibatkan polisi dan aktris mampu menimbulkan vibes ala-ala film Hollywod. Ditambah dengan adegan perkelahian fisik yang berani menggunakan teknik extreme close-up yang membuat penonton luar genre action tidak nyaman.
Belum lagi konsep spionase dalam film ini bisa mengedukasi penonton tentang kontrol pemerintah (terutama badan intelijen) terhadap rakyatnya yang seolah menihilkan dan melanggar privasi.
Tak kalah hebat, sound effect dan audio mixing rupanya jadi power dalam film ini. Penyelarasan suara dengan adegan benar-benar apik dan klop.
Visual effect saat peledakan bom juga sangat atraktif. Teknik pratical effect seperti pertarungan fisik, tembak-menembak. Ada juga ledakan-ledakan rupanya juga diterapkan dalam film dengan maksud membuat penonton merasakan pengalaman dan sensasi yang berbeda.
Plot
Dilatar belakangi oleh dendam seorang mantan anggota militer bernama Arok yang kecewa terhadap sistem perbankan Indonesia yang merenggut nyawa istri dan anaknya, 13 Bom di Jakarta adalah sebuah ancaman.
Ia menggertak akan meledakkan 13 bom setiap 8 jam yang sudah dipasang di setiap sudut Kota Jakarta. Arok mengumpulkan setiap orang yang senasib-sepenanggungan dengannya untuk menggoyahkan stabillitas negara sebagai kelompok teroris yang meneror warga Ibukota dengan bom.
Ia kemudian melibatkan Oscar dan William, dua pengusaha muda yang sukses di bidang mata uang digital, dalam misi hitamnya.
Arok menuntut egalitasi buntut penderitaannya. Tidak berdiri sendiri hanya dengan kelompoknya, Arok juga memiliki mata-mata di Badan Kontra Terorisme Indonesia. Dari sini, penonton diajak untuk mengungkap misteri dan teka-teki yang sudah dirancang oleh sutradara.
Angga mengangkat isu yang menarik dalam film ini. Ia mengembangkan konflik moneter yang relevan dengan kecanggihan sistem keuangan era sekarang. Ia juga banyak mendayagunakan ragam bahasa ekonomi dalam naskah skenario.
Belum bisa menjadi film paket komplit, 13 Bom di Jakarta dinilai masih memiliki kekurangan dalam hal pengembangan konflik dan penjelasan revolusi yang bisa jadi dimaksudkan sebagai bentuk pesan moral dari film.
Nasihat yang bisa kita ambil dari film ini adalah kekecewaan terhadap pemerintah tidak bisa menjadi pembenaran untuk membunuh warga sipil yang tidak bersalah.
Baca Juga Film Hamka 2 : Kolaborasi Nasionalisme yang Masih Membara