Apa hal pertama yang terpikirkan saat melihat seseorang memakai pakaian dengan gambar kombinasi warna cerah (pelangi)? Atau apa yang terpikirkan saat sedang menghadiri sebuah perayaan dengan konsep nuansa warna yang beragam?
Analisis kita seolah langsung mengarahkan pada LGBT. Padahal bukan pendukungnya. Ini artinya, upaya mereka membumikan warna pelangi sebagai simbol golongan benar-benar berhasil.
Mengutip dari banyak tulisan, (bagi yang belum membaca) eksistensi LGBT dimulai pada tahun 1978 di San Fransisco. Harvey Milk dan Gillbert Baker adalah dua tokoh dengan peranan penting. Baker adalah perancang bendera LGBT dan Milk adalah seorang gay yang untuk pertama kalinya berhasil menduduki jabatan publik dan saat itu memberikan dukungan kepada Baker.
Singkatnya, ia mendesain bendera LGBT dengan delapan warna yang masing-masing memiliki makna. Merah (kehidupan), jingga (penyembuhan), kuning (sinar matahari), hijau (alam); merah muda (seksualitas), biru (harmoni), ungu (semangat), dan turquoise (seni). Karena ketersediaan bahan dan alasan simetris-estetis, warna merah muda dan turquoise akhirnya dihapus. Maka, jadilah bendera LGBT yang familiar oleh kita saat ini seperti warna pelangi.
Hal ini jelas sangat menodai pesona pelangi itu sendiri, yang mana merupakan ciptaan Tuhan. Kasihan bukan anak-anak Indonesia yang sedari kecil sudah diajari lagu Pelangi-Pelangi? Mereka memahami (berdasarkan lirik lagu) bahwa pelangi adalah tanda kuasa Tuhan dengan segala keindahannya. Di bagian akhir lagu, kita menemukan lirik “…. pelangi-pelangi ciptaan Tuhan”. Jangan sampai lirik tersebut dimaknai menjadi kaum LGBT juga merupakan ciptaan Tuhan yang juga otomatis menyandang hak untuk berekspresi. Wah bakal kacau jadinya!
Kata “pelangi” itu sendiri kini mengalami peyorasi setelah digunakan kaum LGBT sebagai legitimasi simbol mereka. Kata dengan makna leksikal yang indah dan representasi keagungan Pencipta Alam Semesta ini menjadi berkonotasi negatif. Sementara, penyandang kata indah ini adalah mereka yang “butuh disembuhkan” dan justru jauh dari keindahan.
Tak ada cerita tentang kaum LGBT yang berakhir dengan hidup bahagia. Sebaliknya, mereka sakit secara fisik dan batin, bahkan hancur. Dipandang dari aspek manapun, LGBT tidak ada baiknya. Dari dimensi sosial-budaya, mereka melanggar norma dan selalu ada hukuman bagi pelaku. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan alam jelas akan ada akibatnya.
Kesehatan juga sangat jelas menyampaikan banyaknya penyakit yang disebabkan kaum LGBT ini, yang bahkan ada yang belum ada penawar obatnya. Dimensi psikologi memberikan beberapa terapi penyembuhan. Terapi tersebut disesuaikan dengan aspek mana yang mendominasi penderita. Misalnya, visual, audio, atau kinestetik. Utama dan paling utama adalah penyembuhan dari aspek spiritual.
Dunia entertain akan banyak menampilkan kampanye-kampanye pembumian LGBT. Iklan, lagu, film, lifestyle selebriti, jangan sampai menjadi hal yang kita anggap biasa karena kita sudah diakrabi dengan hal-hal itu. “Bencana” yang ditimbulkan kaum LGBT sangat besar potensinya menimpa kita juga. Karena itu, kita tidak bisa diam. Kita yang masih memiliki kekhawatiran yang sama sudah seharusnya ikut bersuara, bukan mendukung tapi menolak. Dukungan itu sama saja menjerumuskan mereka dalam ledakan kehancuran. Tugas manusia adalah merawat bumi, bukan menjadi bagian dari orang-orang yang berbuat kerusakan.
Berat memang, karena sudah terlanjur tertanam. Tapi, coba kita kembalikan makna “pelangi” seperti sedia kala, indah dan agung yang menandakan kuasa Allah SWT.
Oleh : Sahri An Nisa, Blogger.
Response (1)