Kisah Sedih Dibalik Gurih Tengkleng Solo

image source : selerasa

JetengKita.id- Tengkleng Solo pasti sudah akrab di lidah sedulur. Sajian berbahan dasar tulang belulang, tetelan kambing, jeroan dan terkadang kepala kambing ini memiliki cita rasa gurih dan sedikit pedas. Tengkleng Solo paling cocok disantap bersama nasi hangat.

Dalam pengolahannya, Tengkleng Solo melewati proses khusus agar daging yang menempel pada tulang belulang tidak terasa alot dan mudah dilepas. Kuah segar yang dimiliki Tengkleng juga dipadu dengan aneka bumbu rempah yang khas. Hal itulah yang membuat Tengkleng Solo memiliki aroma dan rasa yang khas dan menggugah selera. Rempah yang digunakan pada Kuah Tengkleng Solo sendiri mirip dengan togseng, karena kuah kuningnya cenderung bening dan terdapat tambahan cabai utuh.

Namun tahukah sedulur, teryata ada kisah sedih dibalik rasa segar-gurih Tengkleng Solo. Menurut Heri Pritamoko, penulis buku Keplek Ilat: Sejarah Wisata Kuliner Solo, hidangan ini merupakan hasil kreatifitas masyarakat Solo saat era penjajahan Jepang. Dahulu hanya masyarakat dengan kelas sosial atas seperti Priyayi dan bangsa penjajahhh yang dapat menikmati daging kambing. Karena banyaknya sisa tulang belulang, tetelan, dan jeroan akhirya masyarakat Solo mulai berinisiatif untuk mengolahnya. Siapa sangka hal yang semula dianggap “sampah dapur” dapat disulap menjadi hdangan lezat meggungah selera. Masyakat kelas bawah dan menengah-pun pada akhirnya dapat meikmati rasa gurih kaldu dan daging kambing.

Kata “tengkleng” sendiri muncul karena saat itu, piring yang banyak diguakan berbahan seng. Sehingga saat tulang belulang tengkleng dihidangkan di piring menimbulkan suara nyaring “tengkleng”

Dalam perkembangannya, hidangan rakyat ini tidak hanya dikonsumsi masyarakat kalangan bawah, tapi juga kalangan priyayi. Fenomena itu, menurut Heri dapat membuktikan tengkleng mampu menunjukkan jati diri dan harga diri yang tinggi dalam kategori kuliner.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *