Jatengkita.id – Masjid Agung Semarang merupakan salah satu Masjid terbesar dan juga menjadi ikon dari kota Semarang. Ternyata Masjid Agung Semarang ini, menjadi saksi bisu kemerdekaan Indonesia lho. Simak selengkapnya!
Masjid ini didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI masehi atau pada masa kesultanan Demak.
Menurut cerita, Made Pandan, seorang maulana Arab (Maulana Ibnu Abdul Salam) mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk menggantikan Syekh Siti Jenar.
Made Pandan meninggalkan Demak bersama putranya dan membuka hutan dan menyebarkan agama Islam di Pulau Tirangan.
Daerah itu menjadi lebih subur seiring waktu. Di sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang, yang disebut sebagai Asem Arang dalam bahasa Jawa. Oleh karena itu, tempat itu disebut Semarang.
Mula-mula, Made Pandan memulai pekerjaannya dengan membangun sebuah masjid yang digunakan sebagai padepokan dan menjadi pusat aktivitas pengajaran agama Islam. Masjid Agung Semarang berasal dari masjid ini.
Masjid ini tidak berada di tempat yang sekarang ketika didirikan pertama kali. Lokasinya di Mugas, yang sekarang bagian dari kecamatan Semarang Selatan.
Sebagai pendiri desa dan tokoh agama di wilayah tersebut, Made Pandan diberi gelar Ki Ageng Pandan Arang.
Dengan waktu, pengaruh Ki Ageng Pandan Arang semakin meningkat, dan wilayah tersebut semakin berkembang, menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan kabupaten karena persyaratan peningkatan daerah dapat terpenuhi.
Sultan Pajang, setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga, akhirnya menunjuk Pandan Arang sebagai Bupati Semarang pertama.
Peristiwa itu bertepatandengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. Pada tanggal itu “secara adat dan politis berdirilah kota Semarang”.
Setelah dinobatkan menjadi bupati Semarang yang pertama, Ki Ageng Pandan Arang menjadi masjid yang dibangunnya sekedar untuk tempat ibadah dan tempat mengajarkan agama saja.
Tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Seiring dengan perkembangan waktu, daerah Mugas dianggap kurang strategis sebagai pusat pemerintahan. Akhirnya beliau pindah di daerah yang lebih strategis di kota Semarang bagian bawah di Bubakan.
Beliau juga memindahkan Masjid Agung Semarang di daerah tersebut, tetapi lokasinya juga buka di tempatnya sekarang. Lokasi di mana masjid ini belum dapat dipastikan.
Peta kuno Semarang yang tersimpan di Rijks Archief di Belanda menggambarkan bahwa waktu itu Masjid Agung Semarang terletak di sebelah timur laut dari kabupaten Semarang (sekitar daerah Pedamaran).
Konon, Ki Ageng Pandan Arang meninggal tidak lama setelah itu dan dimakamkan di bukit Pakis Aji. Putranya, Ki Ageng Pandan Arang II, menggantikan ayahnya sebagai bupati dan penyebar agama.
Beliau hanya menduduki tahta kabupaten selama tiga tahun. Hal itu karena atas saran Sunan Kalijaga, dia lebih memprioritaskan pekerjaannya sebagai penyebar agama daripada memimpin pemerintahan.
Ki Ageng Pandan Arang menyebarkan agama Islam di wilayah yang kemudian dikenal sebagai Salatiga, Boyolali, dan Klaten. Ki Ageng Pandan Arang II kemudian bergerak ke arah selatan.
Selain itu, dia mendirikan padepokan sebagai pusat penyebaran agama di lokasi yang disebut Tembayat; karena itu, dia juga dikenal sebagai Sunan Tembayat. Pada tahun 1553, dia meninggal di tempat itu dan dimakamkan di bukit Jabalkat, yang berasal dari nama arab Jabal Qof.
Sesudah Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri, kedudukan sebagai Bupati dan pemimpin agama agama di Semarang digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Ketib. Raden ketib atau Pangeran Kanoman atau Ki Ageng Pandan Arang III (1553-1586) sekaligus juga bergelar pangeran Mangkubumi I.
Beliau digantikan putranya yang bernama Kyai Khalifah yang bergelar Pangeran Mangkubumi II. Kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Kyai Mas Tumenggung Tambi (1657-1659).
Selanjutnya Kyai Mas Tumenggung Wongsorejo (1659-1666), Kyai Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670), Kyai Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674). Sampai pada masa Bupati ini, kabupaten Semarang masih di bawah Kesultanan Mataram.
Pada masa pemerintahan bupati ke-10, Kyai Mas Tumenggung Judonegoro menjabat sebagai Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo I (1674–1701).
Bupati ini kemudian digantikan oleh Kyai Tumenggung Mertoyudo, yang menjabat sebagai Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo II (1743–1751). Penjajahan mulai datang ke kota Semarang.
Masjid peninggalan ki Ageng Pandan Arang hancur dalam kebakaran bewsar selama pemerintahan Adipati Suro Hadimenggolo II.
Terjadi pemberontakan orang Tionghoa terhadap pemerintahan kolonial Belanda, yang menyebabkan masalah dagang oleh VOC.
Karena lokasi Masjid Agung Semarang dekat dengan VOC di Bubakan dan tidak jauh dari kampung Pecinan, Masjid Agung Semarang juga terbakar habis.
Usaha mendirikan masjid dilakukan oleh Bupati Suro Hadimenggolo II dan lokasinya tidak menempati tempa yang lama.
Dipindah ke lokasi yang lebih srtategis di sebelah barat Bubakan yaitu tempatnya yang sekarang di kawasan Alun-alun Barat Semarang. Tepatnya diujung Jalan Kauman, si sebelah barat Alun-alun arah depan, sebelah kiri dari pendapa Kabupaten yang lazim disebut “kanjengan”.
Usaha membangun kembali masjid yang terbakar dilaksanakan pada tahun 1889 pada masa pemerintahan Bupati Cokrodipiro, dibantu oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir.G.A Gambier dan berhasil diselesaikan dalam tempo yang sangat singkat.
Sehingga, sejak bulan april 1890 masjid telah dapat difungsikan kembali hingga sekarang. Peristiwa terbakarnya masjid dan pembangunannya kembali diabadikan pada prasasti empat bahasa (Arab, Jawa, Belanda dan Melayu) yang dipasang menyatu dalam bagian dinding gapura masjid.
Pada masa pemerintahan Raden Mas Soebiyono (1897-1927), yang bergelar Raden Mas Tumenggung Adipati Purboningrat menganugerahkan tiga buah pusaka untuk disimpan di dalam masjid yaitu berupa tombak bernama Kyai Plered, Kyai Puger dan Kyai Mojo, sampai saat ini masih terawat dan tersimpan sebagai pusaka masjid.
Selanjutnya jabatan Bupati Semarang Raden Mas Amin Sujitno (1927-1942) Raden Mas AA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945) dan Raden Soediyono Taruna Kusumo (1945), hanya berlangsung satu bulan karena memasuki masa kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Terlepas dari sejarahnya, Bangunan masjid yang sudah berumur 133 tahun ini ternyata memiliki arti yang mendalam.
Baca Juga Masjid dengan Arsitektur Unik, 3 Ada di Jawa Tengah
Atap masjid yang memiliki tiga tingkatan di Masjid Agung Semarang ini mempunyai arti sebagai tiga tingkatan manusia, yaitu Islam, iman, dan ikhsan yang menjadi pondasi manusia untuk beribadah langsung kepada Tuhannya.
Pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, tepatnya pukul 10.00 WIB, Sang Proklamator, Ir. Soekarno, memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia yang langsung tersambung ke radio dan terdengar oleh seluruh rakyat Indonesia pada saat itu.
Berita gembira itu membuat rakyat senang akan berakhirnya penjajahan di tanah air.
Dr. Agus, aktivis masa itu dan pengurus Masjid Agung Semarang, segera pergi ke Masjid Agung Semarang setelah mendengarkan berita tentang kemerdekaan Republik Indonesia di radio pada pukul 10.00 WIB.
Ia naik ke mimbar dan menjadi orang pertama di Kota Semarang yang mengumumkan berita kemerdekaan.