Mengenal Bari’an, Tradisi yang Lestari di Semarang

Kupat Lepet untuk Tradisi
Kupat Lepet untuk Tradisi Bari'an (FOTO : syakal.iainkediri.ac.id)

Jatengkita.id –  Kota Semarang menjadi kota yang semakin maju. Akan tetapi, hal ini tidak membuat masyarakat melupakan sejarah, wisata, budaya dan tradisinya.

Tampak kebiasaan turun-temurun menjadi tradisi di setiap bagian kehidupan warganya. Kemudian yang lebih tua mewariskannya kepada yang lebih muda begitu seterusnya. Salah satunya tradisi Bari’an (Baritan) atau jalinan mempererat tali silaturahmi yang tak lekang ditelan zaman.

TRADISI BARITAN | ANTARA Foto

Sejarah Tradisi Bari’an

Sebagai tradisi, Bari’an atau Baritan ini masih dilakukan pada malam Jumat kliwon Jumadil akhir penanggalan Jawa setiap tahunnya.

Bari’an berasal dari kata Bariah atau Barokah merupakan wujud ungkapan syukur. Keyakinan masyarakat sekitar turun-temurun tertoreh dalam sejarah babad Kota Semarang.

Siapa tak datang dalam tradisi barian akan didatangi seekor harimau peliharaan Ki Wonoyudo. Begitu mitos pun sirna seiring bergulirnya sang waktu namun tradisi barian menggema dan kini masih lestari.

Dikisahkan kurun waktu antara 300 hingga 500 tahun silam seorang pemuda yang dijuluki Degol, karena tangan kirinya medegol. Ia meninggalkan desa tercinta lalu berburu ilmu hingga ke sebelah utara lereng Gunung Ungaran.

Setelah berpuluh tahun ngilmu, Ki Degol yang rindu dengan desanya, memutuskan pulang karena di desanya ada janggrung yang selalu mengiringi sedekah bumi. Pada malam itu Ki Degol terpesona dengan salah satu penari tayub yang sedang tampil.

Ki Degol membawa lari penari tayub tersebut dan menancapkan tongkatnya di tengah bulatan tayub semalam suntuk, fajar menjelang para tamu baru tersadar dari mimpinya.

Pada akhirnya Ki Degol menikahi penari tayub tersebut dan memiliki dua orang putri yang cantik. Salah satu putri Ki Degol di jodohkan dengan seorang pemuda bernama Raden Ali atau Ki Wonoyudo.

Kala itu pemimpin daerah setempat mengadakan sayembara barang siapa bisa meringkus berandal yang meresahkan masyarakat akan mendapatkan hadiah.

Ki Degol dan Ki Wonoyudo diminta untuk mengikuti sayembara tersebut. Mertua dan mantu saling membahu mengalahkan berandal tersebut dan akhirnya berhasil, berandal tersebut di pancung kepalanya dan dipajang di tengah alun-alun.

Atas bentuk rasa syukur, masyarakat mengadakan tasyakuran yang disebut Bari’an. Tradisi Bari’an sendiri mewajibkan ada menu makanan kupat dan lepet. Kupat dan lepet merupakan santapan sejumlah hewan peliharaan Ki Wonoyudo seperti perkutut kikil, kucing condromowo, anjing dan seekor harimau bernama Raden Ayu Serang.

Pelaksanaan Tradisi Bari’an

Dua  hari jelang tradisi Barian digelar warga dukuh Dudak, sibuk mempersiapkan janur sebagai pembungkus kupat dan lepet. Biasanya, warga mempersiapkan bahan beras ketan 5 kg dan 5 butir kelapa untuk 150 lepet. Sedangkan kupat, memerlukan bahan 5 kg beras untuk 100 kupat, proses memasak kupat dan lepet membutuhkan waktu hingga 8 jam lamanya.

Seiring kupat dan lepet dimasak, sejumlah warga dukuh dudak melakukan kerja bakti di makam Ki Degol dan Ki Wonoyudo. Kerja bakti dengan maksud sebuah ungkapan penghargaan kepada leluhur-nya.

Pada malam harinya, warga dukuh dudak baik lelaki, perempuan, bahkan anak-anak melakukan ziarah ke makam sehari menjelang tradisi Barian.

Warga juga mempersiapkan panggung dan tenda di lokasi tradisi barikan digelar. Disaat yang sama di sebuah masjid utama dukuh dudak sejumlah warga juga melantunkan ayat suci Al-Qur’an.

Golong dan Asahan menu sajian yang melengkapi tradisi barian selain kupat dan lepet, golong merupakan sebutan nasi yang dibungkus daun pisang sedangkan asahan adalah nasi tumpeng-nya. Belanja bahan pembuatan golong dan asahan ini berlangsung pagi hari.

Warga setempat telah membagi pembuatan golong dan asahan setiap RW nya yaitu setiap RW membuat tiga golong dan asahan.

Selepas ashar, seluruh warga dukuh dudak menyaksikan prosesi metoke atau mengeluarkan kupat dan lepet serta nasi golong dan tumpengan untuk dibawa ke lokasi tradisi barian.

Di lokasi tradisi bari’an warga dukuh dudak telah berkumpul memenuhi sepanjang jalan menuju makam Ki Wonoyudo sambil membawa kupat dan lepet dalam besek plastik. Usai kegiatan seremonial doa berkah syukurpun dipanjatkan kepada para leluhur mereka Ki Degol dan Ki Wonoyudo.

Kupat dan lepet yang telah dibawa warga lalu dibagikan kepada setiap warga desa lain yang melintas di lokasi tradisi barian ini, tradisi membagikan kupat dan lepet ini menjadi bagian momentum yang dirindukan setiap warga dukuh dudak, warga meyakini tradisi berbagi sesama tidak akan lekang ditelan zaman.

Baca Juga Viral Tradisi Gebrak Bayi, Ini Penjelasan Sisi Medis 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *