Mengenal Tradisi Kliwonan, Bukan Sekadar Jumat Kliwon

FOTO : Herna Mordiyanti.wordpress.com

Jatengkita.id – Bagi kalangan masyarakat Jawa yang masih kental dengan budaya dan mistik terdapat banyak sekali upacara ritual, salah satunya adalah kliwonan. Kliwonan merupakan tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Kota Batang.

Batang memiliki bermacam-macam tradisi, namun salah satu tradisi yang menjadi sorotan banyak masyarakat baik dari dalam maupun luar daerah adalah tradisi kliwonan. Tadisi malam Jumat kliwon atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kliwonan berkaitan dengan cerita rakyat atau legenda dari daerah Batang. Bagi masyarakat Batang malam Jumat kliwon merupakan malam yang sangat dinanti-nanti dan penuh dengan suasana kebahagian, karena di waktu itu muncul tradisi kliwonan.

Kliwonan merupakan adat pada malam jumat kliwon untuk tujuan tolak bala atau menolak bala yang dilaksanakan oleh warga Batang yang diselenggarakan di alun-alun Batang. Kata kliwon berarti nama pasaran dalam penanggalan Jawa, dalam tradisi Jawa kliwonan dikenal dengan konsep lukat dengan arti dihapuskan, dilepaskan, dibersihkan, atau disucikan dari segala marabahaya untuk memperoleh keselamatan. Tradisi kliwonan ini diselenggarakan masyarakat di alun-alun kota Batang setiap 35 hari sekali atau disebut selapan dina menurut perhitungan Jawa tepatnya pada malam Jumat Kliwon.

Dahulu tradisi kliwonan diadakan dengan maksud untuk mengenang jasa para leluhur dan nenek moyang yang dulunya telah membangun kota Batang, tradisi kliwonan yang mulanya diadakan dengan pertimbangan untuk mengenang leluhur yaitu Bahurekso yang dulu pernah bersemedi di sungai Lojahan atau Kramat. Terdapat kebiasaan di makan Sunan Sendang atau Sayid Nur pada setiap malam Jumat Kliwon, banyak orang-orang datang ke sana dengan tujuan berziarah, kemudian ditiru oleh masyarakat Batang, tradisi kliwonan biasanya dilaksanakan pada kamis wage, malam jumat kliwon yang oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai malam yang sakral, tradisi ini bertujuan sebagai ajang melakukan ritual-ritual sederhana, masyarakat percaya bahwa tradisi kliwonan bisa dijadikan sebagai sarana pengobatan bagi orang yang sakit.

Dalam tradisi Kliwonan ini masyarakat melakukan tradisi berupa upacara ngalap berkah dan juga dalam rangka penyembuhan serta kesehatan untuk anak-anak kecil dengan melakukan beberapa ritual seperti ritual gulingan. Ritual guling dimulai dengan mengguling-gulingkan si anak yang sakit-sakitan di alun-alun, setelah itu baju kotor yang dipakainya harus dibuang di alun-alun sebagai tanda membuang sial. Kemudian, anak akan dimandikan dengan air dari sumur yang ada di Masjid Agung Batang, masjid ini letaknya di sisi barat alun-alun. Setelah selesai dimandikan, si anak diberi pakaian baru dan diajak kembali ke alun-alun untuk melakukan ritual sawuran, yaitu melempar sejumlah uang di alun-alun hal, itu sebagai tanda ungkapan rasa syukur, ritual mandi di Masjid Agung Batang tersebut dengan cara membuang pakaian bekas yang dipakainya sewaktu ritual gulingan dan membagi-bagikan uang logam serta makanan khas pasar.

Konon, dalam tradisi kliwonan air yang digunakan untuk membasuh muka atau untuk mandi yang terdapat di Masjid Agung berasal dari mata air yang terdapat di dekat makam Sunan Sendang yang dibawa oleh Raden Joko Cilik ke Batang. Air ini dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan suatu penyakit dan dapat menghindari dari segala penyakit, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an, ritual ini masih sering dilakukan oleh masyarakat setiap diadakannya tradisi kliwonan, khususnya untuk orang tua yang memiliki anak kecil. Tujuan dari ritual ini adalah agar anak mereka bisa tumbuh dengan sehat dan terhindar dari marabahaya dan terhindar dari berbagai penyakit.

Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya zaman dan masyarakat yang mencakup multi dimensi, tradisi kliwonan telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi dari yang sebenarnya, tradisi kliwonan telah berkembang fungsi menjadi sebuah pasar yang sering disebut dengan pasar kliwonan. Masyarakat yang mengikuti kliwonan dari tahun ke tahun pun semakin banyak, kliwonan kini menjadi ajang bagi masyarakat sekedar untuk berjalan-jalan menikmati keramaian pasar alun-alun di malam jumat kliwon.

Banyak yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat dalam tradisi kliwonan seperti ritual gulingan, ritual tersebut saat ini sudah jarang dilakukan masyarakat saat kliwonan. Meskipun begitu tradisi kliwonan masih tetap ada dan dilaksanakan warga Batang sampai sekarang. Saat jumat kliwon tiba masyarakat akan berbondong-bondong datang dengan melaksanakan tradisi kliwonan yang diadakan di pasar malam yang berlokasi di alun-alun, keberadaan tadisi ini sangat membantu dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat, karena dengan adanya tradisi kliwonan masyarakat bisa memanfaatkan kesempatan untuk mencari rezeki dengan cara berdagang di alun-alun.

Para pedagang tidak hanya berasal dari warga Batang asli, banyak juga pedagang dari luar daerah yang turut menimba rezeki, adapun hal lain yang menjadikan keunikan dari adanya tradisi kliwonan yaitu salah satu makanan khas kliwonan berupa jajanan tradisional, yakni campuran antara klepon, gemblong dan ketan yang diberi santan kental serta gula jawa cair. Klepon dan gemblong khas kliwonan keduanya ini memiliki makna, klepon yang berwana hijau menjadi lambang keagamaan, warna hijau dari klepon menjadi warna yang identik dengan islam dan tradisi ini pada zaman dahulu yang sarat akan nilai keagamaan terutama agama islam, sedangkan untuk gemblong makanan yang memiliki tekstur lengket ini bermakna kerekatan antar masyarakat, kerekatan budaya dan kerekatan jodoh serta warnanya yang putih melambangkan sebagai kesucian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *