Lumos maxima!
Penayangan Fantastic Beast 3 di layar lebar sudah hampir masuk pekan kedua. Tapi karena bertepatan bulan Ramadan, dijamin ada Potterhead yang belum berkesempatan nonton. Nah, buat readers yang belum nonton, tulisan ini tidak ada niat spoiler, hanya ingin bagi tahu nilai kebajikan apa saja yang bisa diambil.
Franchise Wizarding World JK Rowling berhasil sampai ke garapan Fantastic Beast ketiga. Penggemar pasti kangen banget sama fantasi dan petualangan dunia sihir. Fantastic Beast 3 ini, seperti judulnya fokus pada rahasia-rahasia keluarga Dumbledore. Bagian ketujuh novel Harry Potter dan epilog sebenarnya sudah banyak mengisahkan Dumbledore, misalnya tentang Albus Dumbledore itu sendiri, keluarga yang tinggal di Godric’s Hallow, dan insiden kematian Ariana Dumbledore.
Fakta baru yang kita dapat dari film ini adalah identitas Credence yang ternyata adalah anak dari Aberforth Dumbledore. Karena tidak tahu, mereka terpisah sampai cukup lama. Di akhir Fantastic Beast 2, Grindelwald sudah mengungkapkan kalau Credence adalah seorang Dumbledore, dan fakta ini sekaligus dipakai untuk menghasut. Nah, kebenaran itu dibuktikan dengan Burung Phoenix (yang akan selalu datang kepada setiap kelurga Dumbledore yang membutuhkan) dan Credence yang Obscurial (Ariana juga seorang Obscurial). Rumit ya ternyata. Sedikit flashback, hubungan Albus dan Aberforth sebagai kakak-adik memang merenggang saat Albus memutuskan untuk pergi bersama Grindelwald karena ingin mengejar mimpi mereka.
Nilai pertama yang bisa kita ambil adalah tanggung jawab. Albus adalah seorang kakak dan kapasitasnya sebagai seorang penyihir menjadikan dia sosok yang cemerlang. Dia punya tanggung jawab terhadap keluarga, pun dunia sihir. Mimpinya—yang dibangun atas ambisi—pada akhirnya membuatnya sadar. Albus pernah mengungkapkan bahwa barangkali kekuasaan tidak cocok untuknya. Penyesalan di sisa umurnya membuat dia memutuskan untuk mengabdi sebagai seorang pendidik. Tanggung jawab terhadap mimpinya adalah merekonstruksi mimpi itu dengan memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
Fantastic Beast 3 ini juga cukup mengundang rindu penggemar kembali ke “suasana” Harry Potter. Penggalan backsong, Hogwarts (penampakan kastil, Room of Requirement, aula), dan pertempuran dengan mantra non-verbal. Ditambah pemecahan masalah yang menurut salah satu tulisan, konsep pemecahan masalah di Harry Potter itu ala-ala Sherlock Holmes. Satu lagi tidak ketinggalan adalah teamwork. Misi mengamankan koper berisi Qilin menunjukkan adanya saling percaya dan saling melengkapi (karena masing-masing punya kompetensi dan kapasitas sihir yang berbeda). Kejujuran, kerja keras, dan persahabatan. Kerjasama tim selalu punya kehangatan dan kesan.
Film yang berbobot pasti tidak hanya menghibur, tapi juga mengarahkan penonton untuk membaca keadaan sekitar. Ada beberapa dimensi yang bisa kita analisis dari Fantastic Beast 3 ini. Satu, sosial. Toleransi, demokrasi, dan cinta damai tidak kalah populer di era yang plural sekarang ini. Penyihir dan Muggle itu sama, jadi tidak perlu memberi sekat. Kementerian Sihir dan pejabat yang berwenang di dunia Muggle harus jadi penjembatan antardua kelompok ini.
Fanatisme kelompok jelas tidak baik. Sikap itulah yang melahirkan kesombongan, merasa diri lebih unggul dari yang lainnya, sehingga muncul pembenaran untuk menindas kelompok yang lemah. Grindelwald selalu merasa pure-blood adalah kelompok yang paling istimewa dan berhak untuk menguasai dunia. Bumi harus bersih dari Muggle. Dia membunuh, menyiksa, dan melakukan hal-hal tidak humanis lainnya kepada Muggle bahkan half-blood sekalipun.
Dua, politik. Pernah membayangkan bagaimana dunia dipimpin sosok bengis seperti Grindelwald? Mengapa orang-orang tetap hormat padahal kejahatannya sudah nampak jelas di publik? Apa sebab orang-orang yang punya kuasa tidak bisa menghentikan dia? Kutipan keren dari Albus yang kaitannya pengambilan keputusan adalah, lakukan yang benar, bukan yang mudah.
Tiga, budaya. Ternyata proses pemilihan pemimpin di dunia sihir ditentukan seekor hewan yang disebut Qilin. Ia binatang murni dan langka yang bisa membaca kemurnian hati seseorang. Kepada siapa dia membungkuk—tanda memberi hormat, itulah pemimpin yang terpilih. Hewan-hewan di Fantastic Beast memang selalu unik, berdaya guna, dan pastinya punya kekuatan magis. Qilin sebagai fantastic beast jelas mengambil peran penting disini, sesuai judul film.
Tim penjaga Qilin. Newt Scamander pasti punya sudut pandang sendiri sebagai seorang Magizoologis. Dia peduli pada hewan seperti peduli pada manusia. Ia juga sosok yang tidak mencari popularitas dan kekuasaan. Kata Albus, dia melakukan sesuatu yang ada di jalur yang benar. Satu tim dalam misi mengamankan koper juga, ada Jacob Kowalski. Dia Muggle yang bisa menghibur karena polosnya. Albus menyukainya karena dia sosok yang berbelas kasih. Albus sendiri konsisten ditampilkan sebagai seseorang yang misterius, sejak di Harry Potter yang menjadi tua, sampai di film ini yang versi muda. Sosok Grindelwald yang kejam juga digambarkan dengan bagus. Theseaus meskipun birokratis, tapi tidak oportunis. Profesor Hicks membuat penonton terbayang sosok Hermione Granger yang cerdas. Queenie jadi sangat keren karena kemampuan legilemensnya yang bisa membaca pikiran orang. Ada lagi Yusuf Kama dengan loyalitasnya. Karakter tokoh di Fantastic Beast itu dibangun kuat seperti di Harry Potter, khas Rowling banget. Banyak kualitas hati ditunjukkan.
Daya tarik tambahan film ini adalah humor di dalamnya. Jacob sudah cukup lucu karena sikap polosnya. Ditambah bagian saat Newt menyelamatkan Theseaus yang harus beradegan lucu dengan hewan semacam kepiting. Yang jelas, ini sangat menghibur.
Melipur diri sambal belajar. Tentu jadi catatan, ambil yang baik saja dari film ini. So, selamat mencari sesuatu yang bisa dipelajari lagi (bagi yang sudah nonton) dan selamat beringin tahu ria (bagi yang belum rezeki nonton). Setelah ini, akankah Cursed Child diangkat ke layar lebar juga?
Newt said, “Even if we make mistakes, the terrible things, we can try to make things right. And that is what matters : trying”.
Ditulis Oleh: Sahri Annisa