Jatengkita.id – Lebaran tahun ini masih dapat THR kan ya? THR umumnya memang diberikan kepada pekerja atau karyawan menjelang lebaran atau hari raya. Sejak kapan sih ada istilah THR? Lalu, bagaimana sejarah THR di Indonesia?
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hak pendapatan bagi pekerja/buruh yang wajib diberikan pemberi kerja menjelang hari raya keagamaan. Isinya dalam bentuk uang dan menggunakan mata uang Rupiah, bukan berupa parsel atau barang berharga lainnya. Karena, sekaligus jadi upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dalam merayakan hari raya keagamaan.
Sejarah THR di Indonesia
Menurut beberapa sumber, Tunjangan Hari Raya (THR) pertama kali digunakan di Indonesia pada tahun 1950-an. Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri dari Partai Masyumi, adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah itu.
Ia adalah adik kandung pendiri Jong Java, Satiman Wirjosandjojo. Ia lahir di Jawa Tengah pada tahun 1898, tetapi tanggal dan bulan lahirnya tidak diketahui karena biografi Soekiman Wirjosandjojo sangat terbatas.
Kabinet Sukiman-Suwirjo dipimpin oleh Soekiman Wirjosandjojo sebagai Perdana Menteri ke-6 Indonesia dari 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Meningkatkan kesejahteraan pegawai atau aparatur negara adalah salah satu inisiatif kabinet ini. Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo menetapkan bahwa para pamong pradja (sekarang PNS) harus menerima tunjangan menjelang hari raya.
Pemerintah memberikan tunjangan hari raya untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai karena perekonomian dalam negeri Indonesia sedang stabil pada saat itu.
Saat itu, tunjangan hari raya yang diberikan pemerintah berkisar antara Rp 125 (USD 11) hingga Rp 200 (USD 17,5), sebanding dengan kurs saat ini, yang berkisar antara Rp 1,1 juta hingga Rp 1,75 juta.
Para pekerja di perusahaan swasta menentang kebijakan yang dibuat pemerintah saat itu. Para pekerja yang bekerja di perusahaan swasta merasa terlibat dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Mereka juga menuntut Tunjangan Hari Raya, juga dikenal sebagai THR, seperti yang diberikan pemerintah kepada pegawai negeri sipil atau PNS pada saat itu.
Pada tanggal 13 Februari 1952, para pekerja di beberapa perusahaan swasta melakukan mogok kerja untuk menuntut pemerintah menetapkan aturan yang memungkinkan mereka menerima THR dari perusahaan swasta tempat mereka bekerja.
Mengatasi demonstrasi buruh mengenai tuntutan THR tersebut. Pemerintah saat itu segera mengambil tindakan.
Perdana Menteri Soekiman juga meminta perusahaan untuk memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya.
Pemerintah akhirnya dapat meredam unjuk rasa menuntut THR yang dilakukan oleh para pekerja setelah mereka berhasil menanganinya.
Sejak saat itu istilah THR atau tunjangan hari raya menjadi populer di Indonesia. Namun peraturan resmi mengenai THR atau tunjangan hari raya tersebut a baru keluar sekian tahun berikutnya, lama setelah rezim berganti.
Di bawah kendali Orde Baru, Menteri Tenaga Kerja meluncurkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Lantaran peraturan itu, hak para karyawan mendapat THR punya payung hukum.
Pada tahun 2003, yakni 4 (empat) tahun pasca reformasi, peraturan tersebut disempurnakan. Pemerintah dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, yang di dalamnya juga mengatur mengenai tunjangan hari raya atau lebih dikenal dengan sebutan THR.
Dalam dunia kerja, banyak perusahaan kini memberikan THR dalam bentuk sembako dan keperluan lainnya, sebagai bentuk kepedulian kepada para karyawannya.
Secara sosial, THR juga menjadi simbol hubungan baik dan kepedulian antar manusia yang terjalin secara istiqomah.
Dengan demikian, makna THR telah meluas dan tak lagi terbatas pada uang dan pekerja. THR kini menjadi simbol kepedulian dan kasih sayang yang diwujudkan dengan berbagai pemberian kepada orang-orang terkasih dan masyarakat luas, menandai momen yang lebih dari sekadar perayaan hari besar keagamaan.
Baca Juga Sejarah Kain Sarung dan Perkembangannya di Indonesia