Nasi Megono: 2 Rasa 2 Cerita dari Pekalongan dan Wonosobo

Nasi Megono: 2 Rasa 2 Cerita dari Pekalongan dan Wonosobo
Nasi Megono Pekalongan (Gambar: kompas.com)

Jatengkita.id –  Di Jawa Tengah, ada satu menu sederhana yang mampu menyatukan selera banyak orang, nasi megono. Sekilas, megono tampak seperti lauk sederhana berupa cacahan nangka muda dengan parutan kelapa.

Namun, siapa sangka, sajian ini menyimpan cerita panjang, terutama di dua daerah yang terkenal dengan versinya masing-masing: Pekalongan dan Wonosobo. 

Keduanya sama-sama disebut megono. Tapi jika dicicipi, terasa jelas bahwa ada perbedaan rasa, bumbu, hingga filosofi di baliknya.

Megono Pekalongan, Warisan dari Pesisir

Bagi masyarakat Pekalongan, nasi megono sudah menjadi ikon kuliner. Hampir di setiap sudut kota, dari warung kecil pinggir jalan hingga restoran, kita bisa dengan mudah menemukan sajian ini.

Biasanya dijual dengan harga murah, disajikan di atas pincuk daun pisang, lengkap dengan lauk gorengan seperti mendoan, ikan asin, atau peyek rebon. 

Megono Pekalongan terbuat dari nangka muda yang dicincang halus, lalu dicampur parutan kelapa berbumbu rempah. Ciri khasnya adalah aroma harum daun jeruk, kencur, dan serai yang kuat. Rasa gurihnya pekat, sedikit pedas, dengan tekstur agak kering.

Menurut cerita masyarakat, megono berasal dari tradisi pesisir utara Jawa yang gemar mengolah hasil bumi sederhana. Nangka muda dipilih karena murah dan mudah didapat. Dengan kreativitas bumbu, sajian sederhana itu menjelma jadi menu kaya rasa yang kini identik dengan identitas kuliner Pekalongan.

Megono Wonosobo, Hangat Ala Pegunungan

Nasi Megono
Nasi Megono Wonosobo (Gambar : suaramerdeka.com)

Berbeda dengan pesisir Pekalongan, Wonosobo yang terletak di dataran tinggi Dieng punya versi megono sendiri. Sekilas mirip, tapi jika diperhatikan, megono Wonosobo punya karakter berbeda. 

Nangka muda yang digunakan dipotong agak besar, teksturnya lebih lembut, lalu dimasak dengan parutan kelapa dan bumbu yang lebih sederhana. Tidak banyak rempah harum seperti di Pekalongan.

Rasa yang muncul lebih “adem”, gurih lembut, kadang diberi tambahan cabai rawit hijau untuk memberikan sensasi pedas segar. 

Biasanya, nasi megono Wonosobo disajikan dengan lauk tempe kemul, tahu bacem, atau sayur khas pegunungan seperti oseng kentang-kubis. Cara penyajiannya juga kerap lebih sederhana: sepiring nasi putih hangat, megono, plus sambal.

Dua Rasa, Dua Filosofi

Meski sama-sama berbahan dasar nangka muda dan parutan kelapa, perbedaan rempah dan cara memasak membuat karakter keduanya berbeda.

Megono Pekalongan memiliki cita rasa gurih kuat, harum rempah, pedas menyengat yang mencerminkan karakter masyarakat pesisir yang terbuka, ekspresif, dan berani.

Sedangkan Megono Wonosobo memiliki cita rasa gurih lembut, sederhana, sedikit pedas segar yang melambangkan masyarakat pegunungan yang tenang, bersahaja, dan hangat. 

Perbedaan itu seolah menunjukkan bagaimana letak geografis dan budaya memengaruhi cita rasa kuliner. Di pesisir, bumbu cenderung tajam karena terbiasa dengan ikan dan hasil laut. Sementara di pegunungan, rasa cenderung ringan, menyesuaikan dengan sayur dan bahan segar dari ladang.

Di kedua daerah, megono bukan hanya sekedar makanan pengganjal perut. Ia punya makna sosial dan budaya yang dalam. Di Pekalongan, nasi megono kerap hadir dalam acara hajatan atau syukuran.

Penyajiannya yang praktis membuatnya jadi pilihan untuk menjamu banyak tamu. Bahkan bagi perantau asal Pekalongan, rindu kampung halaman seringkali terobati hanya dengan seporsi megono. 

Sedangkan di Wonosobo, megono lebih erat dengan kehidupan sehari-hari. Hampir setiap rumah bisa membuatnya sendiri, dan resepnya diwariskan turun-temurun. Saat musim panen, megono menjadi sajian wajib di meja makan, simbol rasa syukur atas hasil bumi.

Pada akhirnya, nasi megono Pekalongan dan nasi megono Wonosobo sama-sama istimewa dengan ciri khas masing-masing. Keduanya berangkat dari bahan sederhana nangka muda dan kelapa.

Tetapi di tangan masyarakat pesisir dan pegunungan, lahirlah dua sajian berbeda rasa, berbeda nuansa, tetapi sama-sama kaya makna. 

Megono adalah bukti bahwa makanan bukan hanya soal lidah, tapi juga soal budaya, identitas, dan cerita hidup sebuah daerah. Di Pekalongan, megono bicara tentang keberanian rasa.

Di Wonosobo, megono mengajarkan kelembutan dan ketenangan. Dan keduanya, dengan cara masing-masing, tetap menjadi kuliner yang tak lekang oleh zaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *