Jatengkita.id – Tradisi pemakaman di Jawa Tengah memiliki corak yang beragam bergantung pada latar belakang agama dan budaya masyarakatnya.
- Tradisi Islam (Mayoritas Jawa Tengah)
Sebagian besar masyarakat Jawa Tengah memeluk agama Islam, sehingga jenazah dimakamkan dengan tata cara Islam, yaitu dimandikan, dikafani, disalatkan, lalu dikuburkan dalam tanah dengan posisi miring menghadap kiblat. Proses ini biasanya dilakukan secepat mungkin, tidak lebih dari 24 jam setelah kematian. - Tradisi Hindu-Buddha (Sisa Warisan Lama)
Pada masa lalu, ketika Hindu-Buddha berjaya di Jawa, praktik kremasi juga dikenal. Namun kini hanya sedikit komunitas di Jawa Tengah yang masih mempertahankannya. - Tradisi Jawa Kejawen
Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi kejawen, prosesi pemakaman kerap diiringi ritual tambahan. Misalnya, selamatan setelah hari ke-3, ke-7, ke-40, hingga ke-1000, yang dipercaya membantu perjalanan arwah menuju alam baka. - Pemakaman Kristen & Katolik
Komunitas Kristen dan Katolik di Jawa Tengah memiliki tradisi penguburan dengan misa arwah, doa rosario, dan prosesi pemakaman di tanah pekuburan khusus.
Desa Trunyan: Warisan Kuno di Bali
Berbeda dengan tradisi pemakaman di Jawa Tengah, Desa Trunyan memiliki metode pemakaman yang unik. Desa ini terletak di tepi timur Danau Batur, Kintamani, Bali, dengan keindahan alamnya yang populer.
Tidak seperti mayoritas masyarakat Hindu di Bali yang menggunakan upacara ngaben (pembakaran jenazah), masyarakat Trunyan memiliki cara khusus dalam menghormati orang meninggal.
Jenazah tidak dibakar, tidak pula dikubur, melainkan diletakkan begitu saja di atas tanah di bawah pohon besar bernama Taru Menyan.
Kata “Trunyan” sendiri diyakini berasal dari dua kata, “taru” (pohon) dan “menyan” (wangi). Pohon ini mengeluarkan aroma harum alami yang diyakini mampu menetralisir bau jenazah.
Sehingga, meski puluhan mayat diletakkan di tempat terbuka, kawasan tersebut tidak menimbulkan bau busuk yang menyengat.
- Kedisan (Sema Wayah)
Jenazah orang yang meninggal wajar (bukan karena kecelakaan atau penyakit tertentu) akan diletakkan di bawah pohon Taru Menyan, ditutup anyaman bambu (ancak saji), dan dibiarkan membusuk secara alami. - Mepasah
Jika tempat di bawah pohon Taru Menyan penuh, maka jenazah diletakkan di area lain tanpa dibakar maupun dikubur. - Ngaben atau Dikubur
Jika meninggal karena sebab tidak wajar (bunuh diri, kecelakaan, atau penyakit tertentu), jenazah tidak boleh diletakkan di bawah pohon Taru Menyan. Jenazah akan dikubur atau dilakukan upacara berbeda.
Perbandingan Trunyan dan Jawa Tengah
- Metode
Trunyan menaruh jenazah di alam terbuka tanpa dikubur, sementara Jawa Tengah mayoritas menguburkan atau membakar jenazah. - Filosofi
Trunyan bertumpu pada pohon Taru Menyan yang dipercaya menyucikan dan menghilangkan bau. Sedangkan Jawa Tengah berlandaskan ajaran agama (Islam, Kristen, Hindu-Buddha) dan tradisi lokal. - Ritual Lanjutan
Jawa Tengah mengenal selamatan (slametan) atau misah arwah sebagai bagian dari penghormatan. Sedangkan Trunyan lebih sederhana, jenazah cukup diletakkan di bawah pohon sakral. - Keunikan
Trunyan menjadi salah satu tradisi pemakaman paling unik di dunia karena tidak ada bau busuk meskipun jenazah dibiarkan terbuka.
Sejarah Desa Trunyan menunjukkan betapa beragamnya tradisi kematian di Nusantara. Di satu sisi, masyarakat Trunyan masih mempertahankan adat leluhur mereka yang sudah berumur ratusan tahun.
Sementara di Jawa Tengah, tradisi pemakaman lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan agama besar seperti Islam, Kristen, dan Hindu-Buddha.
Keunikan ini membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan budaya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam cara masyarakatnya menghormati kematian.
Desa Trunyan dan Jawa Tengah sama-sama mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan spiritual yang patut dihormati.
Baca juga: Istimewanya Tradisi Grebeg Maulid Solo yang Tak Lekang Zaman