Kisah Hidup-Mati Keroncong Jawa dan Regenerasinya

Kisah Hidup-Mati Keroncong Jawa dan Regenerasinya
(Gambar: etnis.id)

Jatengkita.id – Keroncong Jawa tengah berada di persimpangan sejarah. Musik tradisi yang pernah menjadi kebanggaan masyarakat Jawa ini kini menghadapi tantangan berat perubahan selera generasi muda, minimnya regenerasi pemain, serta berkurangnya panggung yang memberi ruang bagi pertunjukannya.

Para pemerhati budaya menyebut kondisi tersebut sebagai fase “hidup–mati” keroncong Jawa, yaitu sebuah masa ketika tradisi masih bertahan, akan tetapi napasnya kian pendek.

Meskipun demikian, berbagai komunitas kecil dan individu yang mencintai seni ini terus berupaya menjaga eksistensinya.

Mulai dari musisi senior yang tak pernah lelah mengajar, hingga kelompok muda yang mencoba memadukan keroncong dengan sentuhan modern, semuanya menjadi bagian dari perjuangan panjang musik yang pernah mengisi udara nusantara pada masa kolonial hingga dekade 70-an.

Dari Masa Keemasan ke Senyap yang Mengintai

Sebagai bagian dari sejarah musik Indonesia, keroncong Jawa pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Pada awal abad ke-20, langgam Jawa mendominasi siaran radio dan menjadi hiburan utama masyarakat.

Lagu-lagu seperti “Walang Kekek”, “Caping Gunung”, “Suwe Ora Jamu”, hingga “Yen Ing Tawang Ana Lintang” mampu menembus batas kelas sosial dan mengisi berbagai acara mulai dari pesta rakyat, perayaan keraton, hingga panggung musik nasional.

Namun, memasuki era 1980–1990-an, perubahan besar terjadi. Televisi menghadirkan gelombang musik baru yang lebih cepat dan dinamis yaitu pop, dangdut, rock, dan disco. Keroncong tiba-tiba kehilangan daya tariknya di mata generasi muda.

Banyak grup keroncong bubar karena kekurangan personel, sementara panggung-panggung tradisi digantikan musik modern yang lebih komersial.

Sebagian seniman menyebut periode itu sebagai fase “sunyi” keroncong Jawa. Ia belum mati, tetapi hidupnya semakin tidak terlihat. Kelompok-kelompok keroncong hanya tampil di acara adat atau hajatan tertentu, sementara pelatihan formal hampir tidak ada.

Para Penjaga yang Pantang Menyerah

Di balik meredupnya sorotan terhadap keroncong Jawa, keberlangsungan musik ini justru bergantung pada kelompok-kelompok kecil yang memilih bertahan dalam senyap.

Mereka terdiri dari beragam latar belakang yaitu pegawai, pedagang, guru, mahasiswa, hingga pensiunan yang menjadikan keroncong sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Merekalah yang menjaga tradisi ini tetap berdenyut, meski tanpa panggung besar dan tanpa perhatian luas.

Di berbagai ruang sederhana, pendapa kecil, aula komunitas, ruang tamu yang disulap menjadi studio dadakan untuk kelompok-kelompok itu berkumpul secara rutin. Mereka berlatih cak, cuk, biola, cello, dan gitar dengan penuh ketekunan.

keroncong jawa
Instrumen keroncong (Gambar: tampang.com)

Ada yang datang setelah pulang kerja, ada yang menyempatkan waktu di tengah kesibukan keluarga. Tidak ada kontrak atau honorarium, yang ada hanya cinta pada musik yang mereka anggap sebagai warisan budaya.

Regenerasi pun terjadi secara organik. Anak-anak muda yang awalnya hanya ikut melihat atau membantu merapikan instrumen, perlahan mulai tertarik untuk belajar. Sebagian tertarik karena bunyi cak yang ritmis dan unik. Sebagian lagi karena kagum melihat kekompakan para pemain senior.

Dari proses kecil dan perlahan inilah muncul bibit-bibit pemain baru yang mulai memahami teknik dasar dan karakter langgam Jawa.

Lahirnya Napas Baru dari Generasi Digital

Kebangkitan keroncong Jawa secara perlahan justru hadir dari tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya: media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi jembatan bagi anak muda mengenal kembali keroncong melalui video pendek dan kolaborasi kreatif.

Grup-grup keroncong muda mulai muncul. Sebagian mencoba membawakan lagu-lagu pop dalam format keroncong. Sebagian lainnya tetap mempertahankan gaya langgam Jawa tetapi dengan visual modern.

Mereka menghadirkan keroncong secara lebih segar dengan tanpa menghilangkan identitas instrumen cak, cuk, biola, dan cello yang menjadi ruh musik tersebut.

Salah satu kelompok di Yogyakarta bahkan menamakan diri mereka “Keroncong Gen Z”. Mereka melakukan eksplorasi musikal, memadukan keroncong dengan jazz ringan dan pop akustik.

Meski sempat mendapat kritik dari para puris, kehadiran mereka membuktikan bahwa keroncong bisa berkembang dan relevan di mata generasi baru.

Selain itu, berbagai festival musik tradisi yang diselenggarakan pemerintah daerah turut memberikan panggung baru. Festival langgam Jawa, pagelaran keroncong kampung, hingga pertunjukan kolaboratif dengan orkestra menjadi tanda bahwa keroncong tidak lagi berada di pinggiran.

Pertarungan Sunyi yang Masih Panjang

Meski tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat, perjuangan keroncong Jawa masih jauh dari selesai. Tantangan utama tetap sama: regenerasi. Tidak mudah menemukan anak muda yang mau belajar teknik cak-cuk atau vokal langgam yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran tinggi.

Selain itu, keroncong Jawa menghadapi dilema antara mempertahankan kemurnian tradisi atau beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Dua kutub pandangan seringkali bertentangan, namun keduanya sepakat bahwa keroncong tidak boleh dibiarkan menghilang.

Pemerhati budaya mengingatkan bahwa tradisi yang mampu bertahan adalah tradisi yang mampu berubah. Keroncong Jawa bukan benda museum; ia harus terus mengalir seperti air sungai yaitu melewati bebatuan, tetapi tetap menjaga kejernihannya.

Baca juga: Popularitas Campursari di Tengah Derasnya Industri Musik Modern

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *