Jatengkita.id – Di balik hijaunya perbukitan Menoreh, tepatnya di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo yang berbatasan dengan Magelang, terdapat sebuah tempat ziarah rohani umat Katolik yang dikenal dengan nama Sendangsono.
Lokasi ini kerap disebut sebagai “Lourdes-nya Jawa” karena keunikan sejarah, legenda, dan daya spiritual yang dimilikinya.
Awal Mula Legenda Sendangsono
Sendangsono berawal dari sebuah sumber mata air (sendang) yang sejak dulu digunakan masyarakat sekitar untuk kebutuhan sehari-hari. Di dekat mata air tersebut tumbuh pohon sono besar yang rindang, sehingga warga menamai tempat itu Sendangsono.
Konon, di lokasi ini sering terjadi peristiwa-peristiwa mistis. Masyarakat Jawa sebelum masuknya agama Kristen percaya bahwa tempat tersebut merupakan lokasi pertapaan para leluhur. Seiring berjalannya waktu, keyakinan itu berpadu dengan sejarah penyebaran agama Katolik.
Baca juga: Menjelajah Debaran Seni di Taman Budaya Jawa Tengah

Sejarah Masuknya Katolik ke Sendangsono
Pada tahun 1904, misionaris Belanda Pastor van Lith, SJ membaptis sekitar 171 penduduk di sumber mata air Sendangsono.
Peristiwa ini dianggap sebagai tonggak penting penyebaran Katolik di Jawa Tengah, khususnya di wilayah Muntilan dan sekitarnya. Sejak saat itu, Sendangsono berkembang menjadi pusat devosi umat Katolik.
Untuk memperkuat nilai spiritual, pada tahun 1929 dibangun gua Maria di Sendangsono yang menyerupai Gua Lourdes di Prancis. Dari situlah muncul sebutan “Lourdes-nya Jawa”.
Tempat Ziarah Populer
Kini, Sendangsono menjadi salah satu tempat ziarah Katolik terbesar di Indonesia. Setiap tahunnya, terutama pada bulan Mei dan Oktober, ribuan peziarah dari berbagai daerah datang untuk berdoa, mengambil air dari sendang, maupun mengikuti misa rohani.
Keunikan arsitektur Sendangsono juga menambah daya tariknya. Kompleks ziarah ini dirancang oleh arsitek terkenal Romo Mangunwijaya, dengan perpaduan unsur Jawa dan Katolik yang harmonis.
Warisan Budaya dan Religi
Bagi masyarakat Jawa Tengah, Sendangsono bukan hanya situs religi, tetapi juga warisan budaya yang merefleksikan perjumpaan antara tradisi lokal dengan iman Katolik. Keberadaannya menunjukkan bagaimana nilai spiritual, budaya, dan sejarah bisa menyatu dalam satu tempat.
Baca juga: Menelusuri Perjuangan Ratu Kalinyamat, Pahlawan Perempuan Jepara