4 Jenis Gapura Jawa, Simbol dan Cerita di Baliknya

4 Jenis Gapura Jawa, Simbol dan Cerita di Baliknya
Gapura peninggalan Kerajaan Majapahit (Gambar: kumparan.com)

Jatengkita.id – Ragam gapura Jawa hadir dengan keindahan bentuk dan filosofi yang memikat. Lebih dari sekadar pintu masuk, setiap gapura menjadi simbol budaya dan spiritualitas yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Dari Plengkung yang megah, Candhi Bentar yang anggun, Paduraksa yang sarat makna, hingga Semar Tinandu yang unik, masing-masing menawarkan karakter dan cerita khas yang memperkaya pesona arsitektur Jawa.

  • Plengkung: Gapura Melengkung yang Megah

Plengkung adalah gapura Jawa ikonik berbentuk melengkung seperti lorong batu yang kokoh. Gapura ini berfungsi sebagai benteng pertahanan sekaligus penanda area sakral.

Lengkungan atasnya melambangkan masuk ke wilayah suci dan sering dihiasi relief Ramayana–Mahabharata serta ukiran Jawa yang memberi kesan megah.

Lima plengkung utama Keraton Yogyakarta (Tarunasura, Nirbaya Gading, Madyasura, Jagabaya, dan Jagasura) menjadi contoh paling terkenal.

Plengkung juga dapat ditemui di Gapura Gading Kasunanan Surakarta, benteng Baluwarti Yogyakarta, serta beberapa replika arsitektur tradisional di DIY. Di luar Jawa Tengah, bentuk ini jarang ditemukan karena merupakan ciri khas arsitektur Keraton Mataram.

Secara filosofi, Plengkung melambangkan perlindungan dan perjalanan spiritual manusia, sekaligus menjadi ikon budaya yang menarik bagi wisatawan.

  • Candhi Bentar: Gapura Terbelah Simbol Keseimbangan

Candhi Bentar adalah gapura Jawa–Bali yang sangat ikonik. Bangunan ini terdiri dari dua bangunan menyerupai menara candi yang berdiri simetris namun terpisah tanpa atap penghubung.

Keduanya hanya tersambung melalui tangga atau pagar di bagian bawah, meninggalkan ruang terbuka di tengah yang menjadi jalur masuk, seolah dua sisi cermin yang saling melengkapi. 

Bentuk terbelah ini melambangkan keseimbangan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala). Selain itu juga harmoni manusia, Tuhan, dan alam sebagaimana filosofi Asta Kosala Kosali dan Tri Hita Karana, yang dipercaya menjaga kedamaian dan mencegah disharmoni.

Gapura ini berasal dari masa Majapahit abad ke-13 hingga 15 sebagai hasil perpaduan budaya Hindu dan Islam. Candhi Bentar biasanya menjadi gerbang luar (nista mandala) yang memisahkan area profan dari kawasan suci di pura, puri, atau keraton Jawa Timur dan Bali.

Gapura ini kerap diperkaya relief dan patung yang menegaskan nuansa sakralnya. Kini, bentuk Candhi Bentar banyak ditemukan di rumah adat Bali, kompleks keagamaan, hingga situs bersejarah sebagai simbol “kesatuan dalam perpisahan” yang tetap relevan hingga sekarang.

gapura jawa
Jenis gapura Jawa (Gambar: Wikimedia)
  • Paduraksa: Gapura Beratap Tertutup

Paduraksa adalah jenis gapura tradisional yang mudah dikenali dari atapnya yang menyatu di bagian atas. Pintu masuk terlihat tertutup dan utuh—berbeda dengan Candhi Bentar yang terbuka dan terbelah dua.

Bentuk beratap ini memberi kesan anggun sekaligus kokoh, sekaligus menegaskan bahwa siapa pun yang melintas sedang berpindah dari area luar menuju ruang yang lebih dalam dan terjaga.

Dalam tata ruang Jawa–Bali, paduraksa biasanya menjadi gerbang bagian dalam yang menghubungkan halaman tengah dengan kawasan utama pura, keraton, atau makam penting. Melewati gapura ini seakan melangkah dari wilayah profan menuju ruang yang lebih sakral dan penuh kekhusyukan.

Secara simbolis, atap tertutupnya dimaknai sebagai naungan dan perlindungan ilahi. Sementara itu, ornamen seperti kala-makara, motif flora-fauna, hingga simbol keagamaan menegaskan bahwa paduraksa bukan hanya pintu. Paduraksa juga gerbang menuju tingkat kesucian dan kesadaran yang lebih tinggi.

  • Semar Tinandu: Gapura Berstruktur Kompleks

Semar Tinandu adalah gapura Jawa yang bentuknya menyerupai pendapa kecil dengan banyak tiang, sehingga tampak lebih kompleks dibanding jenis gapura lainnya. Atapnya, umumnya limasan atau joglo, ditopang oleh deretan tiang di atas sebuah alas.

Bentuk ini memberi kesan ringan, terbuka, namun tetap kokoh. Ruang bawah atap yang lapang membuatnya ideal sebagai area penyambutan sebelum menuju bangunan utama.

Karena tampilannya yang anggun dan sangat “Jawa”, Semar Tinandu banyak digunakan di kawasan wisata budaya, gedung pemerintahan, balai kota, kampus, dan bangunan representatif lainnya.

Secara simbolis, nama “Semar” menghadirkan makna kesederhanaan dan kebijaksanaan. Sementara deretan tiangnya melambangkan gotong royong, nilai penting yang menjadi jantung budaya Jawa.

Baca juga: Rumah Joglo Tampilkan Harmoni Arsitektur dan Filosofinya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *