Jatengkita.id – Di tengah derasnya arus modernisasi, masih ada tradisi yang bertahan dan tetap menjadi perekat sosial masyarakat pedesaan. Salah satunya adalah tradisi sinoman, budaya gotong royong khas Jawa yang hingga kini masih kuat dijalankan masyarakat di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Sinoman bukanlah hal baru bagi warga Temanggung. Tradisi ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dan diwariskan lintas generasi. Dalam praktiknya, sinoman adalah kegiatan sukarela, biasanya dilakukan para pemuda dan pemudi, untuk membantu penyelenggara hajatan.
Hajatan itu bisa berupa pernikahan, khitanan, hingga syukuran besar yang melibatkan banyak tamu. Ketika sebuah keluarga hendak menyelenggarakan pesta pernikahan, misalnya, para tetangga, saudara, dan pemuda desa akan datang bergotong royong.
Mereka membantu menyiapkan segala sesuatu mulai dari dapur, logistik, hingga penerimaan tamu. Tidak ada hitung-hitungan bayaran, semua dilakukan dengan tulus sebagai wujud solidaritas.
Suasana sinoman biasanya sudah terasa sejak pagi. Di dapur umum yang biasanya digelar di halaman rumah atau balai desa, asap kayu bakar mengepul dari tungku besar. Para ibu dan bapak sibuk memasak sayur dalam kuali berukuran raksasa, menanak nasi, dan menyiapkan lauk pauk tradisional.
Sementara itu, para pemuda mengambil peran masing-masing. Ada yang menata kursi, mendirikan tenda, atau memasang dekorasi sederhana.
Saat acara berlangsung, mereka bertugas melayani tamu seperti menyuguhkan minuman, mengantarkan hidangan, hingga merapikan meja. Semuanya dikerjakan sambil bercanda, tertawa, dan kadang bernyanyi.

Lebih dari Sekedar Membantu
Di Temanggung, sinoman bukan hanya tentang membantu pekerjaan. Lebih dalam dari itu, tradisi ini menjadi sarana mempererat hubungan sosial. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab sosial untuk ikut andil dalam suka cita tetangganya.
Tak hanya itu, sinoman juga berperan sebagai wadah pembelajaran sosial bagi generasi muda. Anak-anak muda desa belajar tentang kerja sama, tanggung jawab, dan disiplin.
Mereka juga belajar tentang adat dan tata krama, bagaimana melayani tamu, cara bersikap hormat kepada orang tua, dan bagaimana bekerja tanpa pamrih.
Seiring berkembangnya zaman, banyak hal berubah. Layanan katering, jasa event organizer, hingga dekorasi modern kian mudah diakses. Namun, di Temanggung, sinoman masih tetap bertahan.
Meski demikian, sinoman juga mengalami penyesuaian. Kini, pemuda yang terlibat tidak hanya membantu secara fisik, tetapi juga di bidang lain.
Misalnya, mereka ikut mendokumentasikan acara dengan kamera ponsel, membuat video singkat untuk media sosial keluarga penyelenggara, atau membantu koordinasi via grup WhatsApp.
Bagi masyarakat Temanggung, sinoman bukan hanya warisan budaya, tetapi juga identitas. Tradisi ini menjadi simbol keguyuban, sekaligus bukti bahwa nilai gotong royong masih kokoh meski zaman terus berubah.
Sinoman di Temanggung adalah cerminan bahwa masyarakat pedesaan masih memegang teguh nilai gotong royong. Ia menjadi benteng dari sikap individualis yang semakin marak di era modern.
Meski menghadapi tantangan modernisasi, sinoman tetap hidup karena masyarakat merasa butuh kebersamaan itu. Ia bukan sekadar soal pesta atau hajatan, melainkan tentang menjaga tali persaudaraan.
Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, sinoman mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa muncul dari hal sederhana: bekerja bersama, saling membantu, dan tertawa di tengah keringat.
Mungkin inilah mengapa sinoman masih bertahan di Temanggung hingga kini. Tradisi ini bukan hanya soal membantu, tetapi juga soal merawat kemanusiaan. Dan selama nilai itu tetap dijaga, sinoman akan selalu hidup, menjadi pelita kebersamaan di tengah perubahan zaman.
Baca juga: Kokohkan Solidaritas Lewat Budaya Sambatan