Wayang Potehi: Jejak Panjang Akulturasi Tionghoa–Nusantara

Wayang Potehi: Jejak Panjang Akulturasi Tionghoa–Nusantara
(Gambar: indonesiakaya.com)

Jatengkita.id – Kesenian Wayang Potehi menjadi salah satu bukti nyata bagaimana interaksi lintas budaya berlangsung secara alami di Nusantara.

Berakar dari tradisi masyarakat Tionghoa di wilayah Fujian, seni pertunjukan boneka kantong ini telah melewati perjalanan lebih dari tiga milenium sebelum akhirnya menjejak kuat di berbagai kota di Indonesia, terutama di kawasan pesisir Jawa.

Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, Wayang Potehi mengalami masa kejayaan, tekanan politik, penyempitan ruang budaya, hingga akhirnya bangkit kembali sebagai warisan yang dijaga oleh berbagai komunitas lintas etnis.

Pada tahun 1950-an, pertunjukan Wayang Potehi sangat populer, terutama di Surabaya, Semarang, dan kota-kota pantura. Banyak kelompok Potehi berpentas dari satu kelenteng ke kelenteng lain, bahkan menggelar pentas keliling ke pasar-pasar dan alun-alun.

Namun, tahun 1967 pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang membatasi ekspresi budaya Tionghoa. Pementasan Wayang Potehi dilarang tampil secara terbuka dan hanya boleh ada di ruang tertutup seperti kelenteng.

Bahkan, dalam buku resmi Museum Wayang Jakarta tahun 1984, Potehi tidak disebutkan sebagai bagian dari wayang Indonesia.

Akibat tekanan tersebut, banyak kelompok Potehi bubar, sejumlah dalang meninggalkan profesinya, dan jumlah pementasan menyusut tajam.

Setelah memasuki era reformasi, ketika ekspresi budaya Tionghoa kembali diakui sebagai bagian dari identitas bangsa, Wayang Potehi mulai bangkit. Kelompok-kelompok lama kembali tampil, dan kelompok baru bermunculan di berbagai kota.

Tak hanya di kelenteng, pertunjukan juga digelar di pusat perbelanjaan, pusat kebudayaan, sekolah, hingga ruang publik lainnya, terutama saat perayaan Imlek. Di Semarang, kelompok di Kelenteng Tay Kak Sie kembali aktif dengan melibatkan pemain lintas etnis.

Akar Sejarah Ribuan Tahun dari Fujian

Wayang Potehi dikenal dalam istilah Hanzi sebagai 布袋戲 (bùdàixì) dan dalam ejaan Hokkien disebut pò͘-tē-hì. Secara harfiah arti kata “potehi” berasal dari tiga karakter: pou 布 (kain), te 袋 (kantong), dan hi 戯 (wayang/pertunjukan).

Dengan demikian, potehi dapat dimaknai sebagai wayang kantong dari kain. Namun bagian kepala boneka umumnya diukir dari kayu pohon ringan seperti sengon atau randu.

Usia Wayang Potehi diperkirakan sudah lebih dari 3.000 tahun, dan tradisi akademik menyebut seni ini dikenal luas sejak masa Dinasti Jin (265–420 M).

Salah satu cerita populer mengenai asal-usul Wayang Potehi adalah legenda lima terpidana mati. Dalam kisah lisan itu, lima tahanan yang menunggu eksekusi menciptakan boneka dari kain bekas untuk menghibur diri.

Musik pengiring pun ditabuh dari perkakas seadanya, seperti panci dan cawan besi. Pertunjukan sederhana itu menarik perhatian sipir hingga kemudian terdengar oleh kaisar. Terhibur oleh kreativitas dan semangat mereka, sang kaisar akhirnya mengampuni kelima tahanan tersebut.

Walaupun berbau mitologi, cerita ini menggambarkan bagaimana seni pertunjukan ini lahir dari kreativitas dan ketahanan mental masyarakat Tionghoa kuno.

Masuk ke Nusantara Melalui Jalur Perdagangan Laut

Gelombang migrasi etnis Tionghoa ke Nusantara berlangsung sejak abad ke-7. Namun, arus terbesar terjadi pada abad ke-16 hingga ke-19 ketika para pedagang Fujian dan Guangdong menetap di bandar-bandar besar seperti Surabaya, Semarang, Lasem, Tuban, dan Batavia.

Di antara benda budaya yang mereka bawa, Wayang Potehi termasuk yang paling mudah diadaptasi karena portabel dan dapat dipentaskan di ruang terbatas.

Catatan paling awal mengenai pertunjukan menyerupai Potehi di Nusantara ditemukan dalam laporan Edmund Scott, seorang warga Inggris yang dua kali berkunjung ke Banten pada tahun 1602 hingga 1625.

Scott menulis bahwa pertunjukan Wayang Potehi berkaitan dengan ritual keagamaan, dilakukan sebagaibentuk penghormatan kepada para dewa dan leluhur.

wayang potehi
(Gambar: infopublik.id)

Struktur Pementasan dan Teknik Memainkan Boneka

Wayang Potehi dimainkan dengan metode yang sangat khas. Kepala boneka terbuat dari kayu dan dibingkai pakaian panjang menyerupai jubah tokoh klasik Tiongkok. Dalang memasukkan tangan ke dalam boneka seperti mengenakan sarung tangan tebal. 

Rata-rata satu pementasan membutuhkan lima pemain: dua dalang (termasuk asisten dalang) dan tiga pemusik. Mereka biasanya tampil di panggung kecil berbentuk rumah mini yang disebut pay low, bercat merah menyala sebagai warna keberuntungan.

Instrumen musik tradisional yang digunakan meliputi toa loo (gembreng besar), Siauw loo (gembreng kecil), Hian na (rebab), Tong ko (gendang), Piak ko (kayu pukul), Bien siauw (suling bambu), dan Thua jwee (selompret khas Fujian)

Dalam perkembangannya di Indonesia, beberapa ansambel bahkan menambahkan alat musik gamelan Jawa seperti bonang, saron, dan kendang, sehingga menghasilkan nuansa nada yang unik: kombinasi antara melodi oriental dan ritme Nusantara.

Lakon-Lakon Klasik dan Cerita Populer

Cerita klasik biasanya berkisar pada legenda kepahlawanan, peperangan, kisah tokoh moral, hingga legenda dewa-dewi. Beberapa lakon yang sering dipentaskan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, Si Jin Kwie (Sie Jin Kwie), Lo Thong Sau Pak, dan Pnui Si Giok.

Sementara itu, untuk pementasan di luar lingkungan kelenteng atau untuk menarik penonton modern, cerita sering diadaptasi dari kisah populer seperti Sun Go Kong/Kera Sakti, Sam Pek Eng Tay, dan Pendekar Gunung Liang Siang

Dalam tradisi pertunjukan, satu kisah bisa disajikan dalam format serial dan terkadang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikannya. Durasi pementasan umumnya antara 1,5 hingga 2 jam lebih singkat dibandingkan wayang kulit Jawa yang dapat berlangsung semalam suntuk.

Akulturasi, Paduan Budaya Tionghoa dan Jawa

Proses akulturasi Wayang Potehi di Indonesia sangat panjang dan menarik untuk diamati. Akulturasi tidak hanya terjadi pada bahasa dan alat musik, tetapi juga pada sistem cerita yang mengambil latar Jawa.

Berikutnya pada kostum. Beberapa boneka mengenakan pakaian dengan motif batik atau warna khas Nusantara. Dari segi bahasa, dulu pementasan disampaikan dalam Hokkien. Kini banyak dalang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa agar mudah dipahami penonton.

Selain itu, banyak dalang dan musisi Wayang Potehi berasal dari etnis Jawa.

Warisan Budaya

Kini Wayang Potehi bukan hanya menjadi kesenian milik etnis Tionghoa, tetapi juga dianggap sebagai warisan budaya Indonesia. Beberapa akademisi dari Jepang, Belanda, Amerika Serikat, dan Taiwan meneliti perkembangan Potehi di Indonesia sebagai conoh keberhasilan akulturasi budaya.

Kelompok-kelompok Potehi Indonesia pun berkesempatan tampil di luar negeri. Pementasan di Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Tiongkok Selatan mendapatkan sambutan positif karena gaya Potehi Indonesia dianggap unik, penuh perpaduan budaya, dan memiliki dinamika musikal yang berbeda.

Lebih dari sekadar seni boneka, Potehi adalah jembatan peradaban: ia membuktikan bahwa keragaman budaya bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang memperkaya jati diri bangsa Indonesia.

Baca juga: Menyelami Keunikan Wayang Kulit Gagrag Banyumas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *