Jatengkita.id – Dahulu, pernikahan dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam hidup seseorang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena baru yang cukup menyita perhatian: antimenikah, di mana semakin banyak anak muda yang tidak lagi melihat pernikahan sebagai hal yang wajib.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, berkembang pandangan bahwa membangun keluarga bukan lagi prioritas utama.
Generasi yang tumbuh dalam era digital ini seperti tengah bergerak menuju arah yang memunculkan pertanyaan besar: apakah benar mereka adalah “generasi antimenikah”?
Fenomena tersebut tidak hadir tanpa alasan. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir membawa dampak signifikan terhadap cara pandang generasi muda terhadap komitmen pernikahan dan keluarga.
Kini, kebebasan pribadi, kestabilan karier, pemenuhan diri, dan kesehatan mental seringkali berada di posisi teratas dalam daftar prioritas hidup.
Tekanan Ekonomi dan Kekhawatiran Finansial
Salah satu faktor terbesar yang memengaruhi keputusan untuk menunda atau bahkan menolak pernikahan adalah masalah ekonomi. Kenaikan biaya hidup yang tidak sebanding dengan penghasilan membuat banyak anak muda merasa belum siap memasuki kehidupan berkeluarga.
Ketika harga rumah melambung tinggi, biaya pendidikan terus meningkat, dan lapangan kerja semakin kompetitif, wajar jika orang merasa ragu untuk memikul tanggung jawab finansial tambahan yang muncul setelah menikah dan memiliki anak.
Bagi sebagian besar generasi muda, kemerdekaan finansial belum sepenuhnya tercapai hingga usia yang lebih matang. Akibatnya, pernikahan dianggap sebagai langkah yang berisiko tinggi menjadi sebuah keputusan yang membutuhkan kesiapan besar, bukan hanya cinta.
Selain itu, banyak anak muda yang melihat bagaimana pasangan dewasa di sekitar mereka berjuang mempertahankan stabilitas ekonomi dalam keluarga.
Perceraian karena masalah ekonomi juga menjadi gambaran nyata bahwa pernikahan bukan hanya tentang romantisme, melainkan juga komitmen finansial yang kompleks.
Pergeseran Nilai dan Prioritas Hidup
Generasi yang hidup di era keterbukaan informasi memiliki akses luas terhadap berbagai gaya hidup di seluruh dunia. Mereka lebih bebas dalam menentukan jalan hidup tanpa harus selalu mengikuti norma yang diwariskan turun-temurun.
Jika dulu perempuan sering dibebani ekspektasi untuk menikah dan mengurus rumah tangga, kini banyak dari mereka yang berpandangan bahwa memiliki kebebasan untuk mengejar mimpi pribadi jauh lebih bernilai. Pernikahan tidak lagi menjadi tolok ukur kesuksesan bagi perempuan maupun laki-laki.
Istilah “self love” dan “personal growth” semakin populer, menggantikan narasi bahwa kebahagiaan dapat dicapai hanya melalui hubungan romantis yang berujung pernikahan. Generasi muda semakin sadar bahwa mereka bisa hidup mandiri, bahagia, dan sukses tanpa harus mengikuti pola tradisional.
Ketakutan akan Kegagalan dalam Hubungan
Kasus perceraian yang meningkat dan semakin terekspos melalui media juga menjadi salah satu alasan. Trauma masa kecil juga berperan besar. Mereka yang tumbuh dari keluarga dengan konflik tinggi atau perceraian orang tua cenderung memiliki ketakutan lebih besar untuk membangun keluarga baru.

Tren Hubungan yang Alternatif
Pernikahan bukan lagi satu-satunya bentuk hubungan yang diakui. Semakin banyak pasangan yang memilih untuk hidup bersama tanpa menikah atau mempertahankan hubungan jangka panjang tanpa komitmen formal.
Bagi sebagian orang, kebersamaan tanpa ikatan legal dianggap memberi ruang lebih besar untuk kebebasan dan aktualisasi diri. Pengakuan terhadap gaya hidup seperti childfree juga semakin meluas, menunjukkan bahwa banyak yang merasa tidak memiliki keharusan untuk memiliki keturunan.
Pengaruh globalisasi nilai dan budaya turut memperluas cara pandang tentang hubungan. Generasi muda semakin sadar bahwa pernikahan hanyalah salah satu pilihan, bukan kewajiban.
Dampak Media Sosial dan Budaya Digital
Media sosial menjadi salah satu faktor penting dalam perubahan perspektif terhadap pernikahan. Di satu sisi, platform digital dipenuhi konten yang menggambarkan romansa ideal pada pernikahan mewah, bulan madu ke luar negeri, dan keluarga yang sempurna.
Namun di sisi lain, tak sedikit konten yang menunjukkan sisi gelap dari hubungan: perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, atau hubungan toksik.
Informasi yang berlimpah membuat generasi muda semakin kritis. Mereka menjadi lebih selektif dan hati-hati dalam memilih pasangan, bahkan ketika banyak peluang hadir melalui aplikasi kencan.
Karier dan Pendidikan yang Jadi Fokus Utama
Keinginan untuk mencapai kesuksesan karier juga memengaruhi keputusan anak muda untuk menunda pernikahan. Pendidikan yang lebih tinggi dan tuntutan profesional yang semakin kompleks membuat mereka lebih fokus pada pencapaian pribadi sebelum memasuki fase keluarga.
Bagi sebagian orang, meraih posisi dan penghasilan yang stabil adalah syarat mutlak sebelum mempertimbangkan menikah. Ini membuat usia pernikahan terus bergeser ke angka yang lebih tinggi.
Apakah Ini Berarti Generasi Antimenikah?
Meskipun banyak anak muda yang menunda atau memilih tidak menikah, bukan berarti mereka benar-benar anti terhadap pernikahan. Mereka hanya menginginkan hubungan yang lebih berkualitas, sehat, dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Pernikahan kini dinilai bukan berdasarkan tekanan sosial, melainkan pilihan sadar yang harus dibangun atas kesiapan emosional dan finansial. Generasi muda cenderung tidak ingin menikah hanya karena tuntutan tradisi atau usia yang dianggap “matang”.
Dalam pandangan mereka, keluarga bukan institusi yang harus terbentuk dalam waktu tertentu, melainkan perjalanan hidup yang perlu dipersiapkan dengan matang.
Tantangan Sosial di Masa Depan
Perubahan pola pikir generasi muda menimbulkan pertanyaan lanjutan: bagaimana dampaknya bagi struktur sosial di masa depan?
Ketika angka pernikahan dan kelahiran menurun, laju pertumbuhan populasi akan ikut melambat. Ini bisa menimbulkan masalah lain seperti penuaan populasi dan berkurangnya tenaga kerja produktif.
Pemerintah dan lembaga sosial mungkin perlu menciptakan kebijakan baru yang dapat mengakomodasi perubahan ini, baik dalam aspek perumahan, pekerjaan, maupun dukungan bagi keluarga modern dengan berbagai bentuk.
Baca juga: Menikah dengan Adat Jawa? Ini Kalender Jawa yang Direkomendasikan






