Mewahnya Tradisi “Nyadran” atau Sedekah Laut Tawang!

Mewahnya Tradisi “Nyadran” atau Sedekah Laut Tawang!
Balapan perahu merupakan salah satu bagian dari tradisi Nyadran di Kendal (Foto : Pinterest)

Jatengkita.id – Budaya memiliki nilai yang tidak ternilai. Etnis, budaya, tradisi kata yang lumrah disebut di kalangan masyarakat. Lain budaya, lain pula wujud aktivitas kebudayaannya. Wujud dari budaya aktivitas salah satunya adalah serangkaian tradisi yang dimiliki, mewakili, juga diciptakan oleh sekelompok orang dalam melangsungkan budaya tertentu.

Dan siapapun tahu, hal ini tidak bisa lepas dari sifat dan karakteristik manusia sebagai makhluk sosial. Orang yang hidup bersama untuk membentuk kebiasaan dan perilaku yang sama pula. Budaya aktivitas ini menjadi bagian tak terpisah dari keanekaragaman budaya Nusantara. 

Keragaman yang menimbulkan perbedaan, yang pasti bukan untuk memilih dan melombakan mana yang lebih indah atau mana yang lebih hebat. Perbedaan yang ada justru malah lebih dipandang sebagai kekayaan Nusantara. Berbeda-beda namun satu dalam nama Indonesia.

Oleh karenanya, masyarakat Indonesia sendiri semestinya menghargai dan membanggakannya sebagai identitas Bangsa. Berbicara mengenai budaya atau tradisi aktivitas yang berbeda-beda disetiap daerahnya sangat menarik. 

Di kala tradisi pada setiap daerah itu dibanggakan sebagai budaya yang dijunjung dan dilestarikan turun-temurun dari setiap generasinya. Seperti halnya di desa Gempolsewu Tawang yang termasuk daerah kecamatan Rowosari Kendal.

Kabupaten di Keresidenan Semarang ini memiliki salah satu tradisi yang sudah melegenda sedari puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Tradisi itu sering disebut dengan “Nyadran” atau sedekah laut. Adat ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat daerah Tawang saja, melainkan juga dilakukan pada daerah pesisir pantai lainnya, baik pantai selatan maupun pantai utara Jawa.

(Foto : Pinterest)

Akan tetapi, pelaksanaan tradisi Nyadran ini memiliki ciri berbeda antara satu dengan lainnya sesuai kultur setempat. Tradisi unik ini ditemukan adanya karakter khusus yakni tidak semua daerah bisa melakukan sedekah laut tetapi hanya dilakukan oleh masyarakat daerah pesisir saja.

Demikian adanya hal tersebut, maka tradisi Nyadran ini sangat berarti dalam menambah keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia. 

Nyadran di Tawang dilaksanakan setiap satu tahun sekali tepatnya pada bulan Muharram atau Suro dalam penanggalan Jawa. Nyadran Tawang yaitu diadakannya pesta laut atau sedekah laut dengan melarung bagian dari sapi (seperti kepala, kaki, juga ekor sapi), jajanan pasar, serta kemenyan ke tengah laut.

Tujuan dari sedekah laut ini untuk mengharap berkah dan meminta doa pada yang Maha Kuasa agar para nelayan diberi keselamatan saat melaut. Tak hanya itu saja, agar masyarakat diberi rezeki yang melimpah. 

Dahulu kala, tradisi ini dianggap syirik oleh masyarakat setempat karena pada saat itu kepala, kaki, dan ekor sapi dilarung ketengah laut sebagai tumbal laut. Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat sadar hingga akhirnya tradisi Nyadran ini dijadikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dan untuk menghormati laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Apalagi di Gempolsewu ini ada lebih dari 1.300 orang nelayan karena merupakan perkampungan nelayan terbesar di daerah Kendal. Tidak hanya itu saja, bahkan pada akhirnya tradisi Nyadran menjadi aset pariwisata di Kabupaten Kendal dan bisa mendatangkan ribuan wisatawan dari luar daerah Kendal. Tradisi Nyadran ini melibatkan Bupati atau Wakil Bupati, Camat, Kepala Desa, dan panitia pesta laut. 

(foto : Pinterest)

Keramaian sedekah laut sudah terlihat sejak satu minggu sebelum pelarungan. Keramaian tersebut diisi dengan berbagai kegiatan lomba seperti lomba balapan perahu, lomba menghias perahu, lomba sepak bola, voli, dan lain sebagainya.

H-3 sebelum pelarungan diselenggarakan acara istigasah di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tawang untuk memohon doa kepada Allah SWT agar tradisi Nyadran berjalan dengan lancar. Selanjutnya, H-1 diadakan kegiatan karnaval arak-arakan sapi yang akan dilarung esok harinya. 

Sebelum disembelih untuk dilarung, masyarakat mengarak sapi keliling kampung dari lapangan desa Gempolsewu sampai di Muara Sigentong. Malamnya sekitar jam satu dini hari, sapi disembelih kemudian dimasak kecuali kepala, kaki, dan ekornya.

Pada hari H, prosesi ritual dimulai ketika puluhan perahu merapat di muara Pantai Sigentong. Di tempat itulah  sesaji dan puluhan ambengan atau sering disebut dengan nasi tumpeng lengkap dengan lalapan, lauk pauk yang dibawa oleh pemilik atau warga diturunkan dari kapalnya masing-masing. Dengan dipimpin oleh pemuka agama, kemudian warga melakukan doa bersama.  

(Foto : Pinterest)

Usai doa bersama, kemudian panitia pesta laut Tawang membagikan daging sapi ke seluruh perahu. Setiap perahu mendapatkan satu nasi bungkus dan dilanjut dengan makan bersama. Setelah itu, dari muara pantai Sigentong sesaji yang berupa kepala, kaki, dan ekor sapi tadi serta aneka jajanan pasar diletakkan di dalam perahu kertas cotok berhiaskan bendera warna-warni.

Iringan puluhan perahu nelayan dipenuhi penumpang yang membentuk seperti ular-ularan ketika perahu pengangkut sesaji diberangkatkan. Jumlah perahu nelayan semakin bertambah saat larung sesaji ke laut lepas diberangkatkan dari muara.

Perahu-perahu itu seolah berlomba mengitari perahu kertas yang berisi sesaji yang dilarung ke laut lepas. Beberapa nelayan mengambil air laut dan mengguyurkannya ke perahu masing-masing. Prosesi tersebut bagi nelayan dianggap sebagai mencari berkah (ngalap berkah).

Puncak acara sedekah laut jatuh pada hari Jumat, meski sejak beberapa hari sebelumnya sudah banyak masyarakat yang berkunjung. Acara puncak akan diisi dengan pelarungan sesaji ke laut. Di lingkungan masyarakat, tradisi ini selain dijadikan sebagai ritual upacara sedekah laut “Nyadran” biasanya juga dijadikan sebagai sarana hiburan rakyat. Misalnya pagelaran wayang, arena bermain anak-anak (seperti pasar malam), panggung hiburan musik, juga pengajian akbar.

(Foto : Pinterest)

Keramaian acara ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat setempat saja. Namun juga warga pendatang yang sekedar ingin melihat prosesi ritual sedekah laut atau ingin menyaksikan hiburan rakyat saja karena antusias masyarakat yang begitu tinggi.

Saat prosesi sedekah laut ini, banyak orang memanfaatkan peluang pasar dengan menjajakan dagangannya. Selain nilai sakral yang terdapat dalam tradisi ini, juga terdapat nilai untuk melestarikan kebudayaan. Bertahap, menjadikan budaya sedekah laut tidak pupus ditelan zaman, sehingga setiap perayaan selalu melibatkan semua generasi agar kelak sudah tertanam jiwa-jiwa seni budaya untuk melestarikannya.

Baca juga : Lebih Meriah, Tradisi Keseruan Dugderan di Semarang 2024

Rekomendasi untuk Anda : Dieng Culture Festival – Festival Budaya Terbesar Tahun Ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *