Jatengkita.id – Di tengah derasnya arus modernisasi dan kemajuan teknologi, masih ada warisan budaya Nusantara yang menyimpan nilai sejarah tinggi dan layak untuk terus dipelajari. Salah satunya adalah bahasa Kawi.
Bahasa ini merupakan bahasa kuno yang dahulu berjaya di Pulau Jawa, bahkan menjadi medium utama bagi para penyair, pujangga, dan cendekiawan untuk mengekspresikan karya sastra, ilmu pengetahuan, hingga ajaran keagamaan.
Bahasa Kawi bukan sekadar bahasa tua yang telah ditinggalkan zaman, tetapi juga saksi bisu perjalanan panjang peradaban Jawa sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.
Melalui prasasti, kakawin, dan naskah-naskah kuno, bahasa ini menyimpan pesan moral, ajaran hidup, serta nilai-nilai estetika yang memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia.
Meski kini jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, jejaknya tetap lestari di berbagai aspek kebudayaan, mulai dari tembang Jawa, pertunjukan wayang, hingga upacara adat.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang bahasa Kawi: mulai dari pengertian, sejarah perkembangan, pengaruh bahasa asing, contoh kosakata, hingga perannya di masa kini yang tetap relevan sebagai sumber pengetahuan dan kebanggaan budaya bangsa.
Apa Itu Bahasa Kawi?
Mengutip laman resmi Pemerintah Kota Surakarta, bahasa Kawi adalah bahasa yang berkembang pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa. Bahasa ini lazim digunakan untuk menulis berbagai karya, mulai dari naskah keagamaan, sastra, ilmu pengobatan, hingga pengetahuan umum.
Dalam lingkup kesusastraan klasik, bahasa Kawi menjadi sarana para pujangga untuk melahirkan karya-karya indah yang memadukan keindahan bunyi, ketelitian tata bahasa, dan kedalaman makna.
Secara etimologis, kata “kawi” berasal dari bahasa Sanskerta “kavya” yang berarti puisi atau syair. Di India, istilah kawi merujuk pada seseorang yang memiliki kebijaksanaan, mampu meramalkan masa depan, dan memiliki pemahaman luar biasa.
Dalam tradisi Jawa, kata ini kemudian dimaknai sebagai “penyair” atau “pujangga”. Dengan demikian, bahasa Kawi dapat diartikan sebagai bahasa para penyair, bahasa yang dirancang untuk menghasilkan karya sastra yang halus, indah, dan penuh makna.
Meskipun erat kaitannya dengan bahasa Jawa Kuno, bahasa Kawi tidak sepenuhnya identik dengan bahasa tersebut. Bahasa Kawi merupakan bagian dari fase perkembangan bahasa Jawa, tetapi memiliki ciri khas sendiri, terutama dalam hal kosakata yang banyak menyerap unsur Sanskerta.
Tujuannya bukan sekadar mengikuti tren kebahasaan India pada masanya, melainkan untuk menciptakan keindahan bunyi dan daya tarik sastra yang lebih memikat.
Baca juga: Menelusuri Dinamika Bahasa Jawa: Dialek Banyumasan, Mataraman, dan Jawa Wetan
Sejarah Panjang Perkembangan Bahasa Kawi
Bahasa Kawi diperkirakan mulai digunakan sejak abad ke-8 Masehi, atau bahkan sebelumnya. Bukti tertulis paling tua ditemukan pada Prasasti Sukabumi di Kediri yang bertanggal 804 Masehi, serta Prasasti Munduan di Temanggung, Jawa Tengah, yang bertahun 807 Masehi.
Prasasti-prasasti ini menjadi saksi awal penggunaan bahasa Kawi sebagai sarana komunikasi resmi, baik dalam pemerintahan, keagamaan, maupun sastra.
Perjalanan bahasa Kawi dapat dibagi ke dalam beberapa periode penting.
- Masa Pra-Abad IX
Sebelum abad ke-9, bahasa Kawi digunakan secara lisan untuk menyampaikan cerita, legenda, dan ajaran leluhur. Sastra pada masa ini diwariskan dari mulut ke mulut sehingga hanya sedikit bukti tertulis yang tersisa.
- Abad IX–X: Era Mpu Sindok dan Dharmawangsa Teguh
Pada periode ini, lahirlah karya sastra monumental seperti Kakawin Ramayana yang ditulis dalam bahasa Kawi. Karya ini menjadi bukti kemampuan bahasa Kawi dalam menyampaikan cerita epik dengan keindahan bahasa yang luar biasa.
- Zaman Kediri (abad XI–XIII)
Masa pemerintahan Prabu Airlangga hingga Raja Kertanegara di Singhasari menandai era keemasan sastra Kawi. Banyak karya berbentuk tembang lahir pada masa ini, menunjukkan kematangan estetika bahasa dan kemampuan pengarang dalam memadukan irama serta makna.
- Zaman Majapahit I (awal berdirinya Majapahit-masa Hayam Wuruk)
Periode ini menghasilkan karya-karya besar seperti Negarakertagama, Arjunawijaya, dan Brahmandapurana. Bahasa Kawi mencapai puncak kejayaan sebagai bahasa sastra istana yang penuh wibawa.
- Zaman Majapahit II (masa Wikramawardhana–runtuhnya Majapahit)
Meski kerajaan Majapahit memasuki masa kemunduran, bahasa Kawi tetap melahirkan karya penting seperti Kakawin Nitisastra yang sarat nilai moral dan filsafat hidup.
Setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-15, bahasa Kawi tidak serta-merta hilang. Bahasa ini dibawa para pendatang Jawa ke Bali, berkembang menjadi Kawi-Bali, dan tetap digunakan dalam upacara keagamaan maupun karya sastra.
Di Pulau Jawa sendiri, bahasa Kawi berevolusi menjadi bahasa Jawa Pertengahan, yang kemudian melahirkan bahasa Jawa Modern.

Hubungan Bahasa Kawi dengan Bahasa Jawa Kuno
Dalam kajian linguistik, bahasa Kawi sering diidentikkan dengan bahasa Jawa Kuno, meski keduanya memiliki perbedaan penting. Jawa Kuno adalah fase tertua dari bahasa Jawa, digunakan sejak masa Kerajaan Kalingga (abad IV–VII M) hingga awal Kerajaan Singhasari (abad XIII).
Bahasa Kawi sendiri merupakan bagian dari perkembangan bahasa Jawa Kuno, tetapi lebih menonjol sebagai bahasa sastra.
Bahasa Jawa Kuno, termasuk Kawi, tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia cabang Melayu-Polinesia, bukan keturunan langsung dari bahasa Sanskerta maupun rumpun Indo-Eropa. Meskipun demikian, pengaruh Sanskerta sangat besar, terutama pada kosakata.
Profesor P.J. Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuno–Inggrisnya (1982) mencatat sekitar 25.500 kosakata Jawa Kuno, di mana hampir 49 persen merupakan kata pinjaman dari Sanskerta.
Pinjaman ini terutama ditemukan dalam teks sastra dan istana, sementara masyarakat umum kemungkinan lebih banyak menggunakan kosakata asli Austronesia.
Pengaruh Sanskerta ini masuk seiring penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Sanskerta digunakan sebagai bahasa agama dan ilmu pengetahuan, sehingga wajar jika banyak istilahnya diserap ke dalam bahasa Kawi.
Namun demikian, bahasa Kawi tetap mempertahankan tata bahasa khas Austronesia yang membedakannya dari bahasa India.
Keindahan dan Fungsi Bahasa Kawi
Bahasa Kawi bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga medium ekspresi estetika. Para pujangga Jawa memanfaatkan keindahan bunyi dan struktur bahasa ini untuk menciptakan karya sastra yang memikat.
Dalam kakawin, misalnya, penyair harus mengikuti pola metrum tertentu yang memerlukan ketelitian tinggi, sehingga menghasilkan puisi yang indah dibaca dan merdu didengar. Hingga kini, bahasa Kawi masih digunakan dalam berbagai konteks budaya.
- Pertunjukan Wayang Kulit dan Wayang Orang
Dalang sering menyelipkan kosakata Kawi dalam dialog wayang untuk menambah kesan sakral dan klasik. - Pagelaran Ketoprak dan Tembang Jawa
Tembang-tembang macapat atau gending Jawa kerap memanfaatkan kata-kata Kawi untuk memperindah lirik dan memperdalam makna. - Upacara Adat
Dalam pernikahan adat Jawa, pembawa acara (pambiwara) masih menggunakan ungkapan-ungkapan Kawi agar suasana terasa lebih khidmat. - Dunia Akademik
Di perguruan tinggi, bahasa Kawi dipelajari dalam bidang linguistik, filologi, dan sastra sebagai bahan kajian sejarah kebahasaan Nusantara.
Keindahan bahasa Kawi juga terlihat dalam tembung Kawi atau kosakata unik yang memadukan unsur Jawa dan Sanskerta. Dalam tradisi Jawa, tembung Kawi dianggap memiliki nilai sastra tinggi, sehingga banyak digunakan dalam nama orang, gelar bangsawan, hingga nama tempat.
Contoh Kosakata Bahasa Kawi
- Aldaka – gunung
- Angkasa – langit
- Anila – angin
- Boga – makanan
- Catur – empat
- Citra – gambaran
- Dipangga – gajah
- Dirgantara – langit
- Dwija – guru
- Ernawa – laut
- Gahana – jurang
- Giri – gunung
- Hyang – dewa
- Ingsun – aku
- Mudha – muda
Kosakata ini menunjukkan betapa bahasa Kawi kaya akan simbol dan metafora. Misalnya, kata Hyang yang berarti dewa sering digunakan dalam konteks spiritual. Sedangkan Candra (bulan) dan Arka (matahari) kerap muncul dalam puisi sebagai lambang keindahan alam dan ketuhanan.