Jatengkita.id – Memayu hayuning bawana adalah filosofi yang berasal dari bahasa Jawa. Filosofi ini memiliki arti menjalani kehidupan dengan baik untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian. Ajaran ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam berbagai aspek kehidupan.
Filosofi ini juga mengandung nilai moral yang kuat. Ia memotivasi manusia untuk selalu berbuat baik, menjauhi perilaku buruk, serta berusaha memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Dengan makna yang begitu mendalam, filosofi ini banyak diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan dan ternyata memiliki sejarah yang unik.
Konsep memayu hayuning bawana sudah dikenal sejak masa Kerajaan Mataram. Beberapa sumber menyebutkan, ajaran ini berkembang pada masa pemerintahan Sultan Agung di abad ke-17.
Pada era tersebut, penerapan filosofi ini tidak hanya terbatas di lingkungan keraton, tetapi juga meresap luas ke masyarakat.
Ajaran ini sering diidentikkan dengan konsep kejawen, yang merupakan perpaduan antara kepercayaan asli Jawa dengan unsur-unsur dari berbagai agama dan filsafat yang berkembang di Nusantara.
Sunan Kalijaga juga dikaitkan dengan penyebaran nilai-nilai memayu hayuning bawana. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan kultural dengan memanfaatkan filosofi ini karena sejalan dengan ajaran yang disampaikannya.
Secara harfiah, “memayu” berarti menyayangi atau memperindah, “hayuning” berarti kedamaian atau harmoni, dan “bawana” berarti dunia atau kehidupan.
Kata memayu berasal dari “mayu” yang berarti indah atau cantik. Dalam filosofi ini, memayu mencerminkan keinginan untuk menciptakan keindahan dalam segala aspek kehidupan, bukan hanya keindahan fisik, tetapi juga keindahan perilaku, pikiran, dan lingkungan.
Hayuning diambil dari kata “ayu” yang berarti baik atau sejahtera. Makna ini merujuk pada upaya untuk mencapai kesejahteraan, baik secara pribadi maupun bersama masyarakat, sehingga tercipta keharmonisan, ketenteraman, dan kebahagiaan.
“Bawana” mengandung makna keinginan untuk mencapai kesejahteraan dan keindahan dalam konteks yang lebih luas, termasuk harmoni dengan alam dan lingkungan sekitar. Kata ini dapat diartikan sebagai alam atau dunia.

Dalam filosofi memayu hayuning bawana terdapat lima dimensi utama.
- Dimensi Spiritual
Menekankan pentingnya menyelaraskan diri dengan kehendak Tuhan serta menjalani hidup sesuai nilai-nilai spiritual melalui ibadah dan doa. - Dimensi Sosial
Mengajarkan untuk menciptakan keharmonisan antarmanusia melalui sikap saling menghormati, gotong royong, dan membangun masyarakat yang damai serta sejahtera. - Dimensi Ekologis
Mendorong manusia untuk hidup berdampingan dengan alam, memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, dan berupaya melestarikannya. - Dimensi Personal
Berfokus pada peningkatan kualitas diri, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual melalui pengendalian diri, introspeksi, dan usaha menjadi pribadi yang lebih baik. - Dimensi Kultural
Berkaitan dengan pelestarian budaya, menjaga warisan leluhur, serta mempertahankan tradisi yang baik sambil tetap terbuka terhadap perkembangan zaman.
Pada intinya, filosofi memayu hayuning bawana mengajarkan manusia untuk hidup sebaik-baiknya dan seimbang memperhatikan diri sendiri sekaligus orang lain.
Filosofi ini menuntun kita menjaga hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan kebersamaan.
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan menumbuhkan etika dalam hubungan sosial, saling menghargai dan menghormati, serta menjaga keseimbangan antara tuntutan dunia material dan kebutuhan spiritual demi mencapai kesejahteraan sejati.
Selain itu, penting untuk berperan aktif dalam masyarakat, karena masyarakat Jawa meyakini kemajuan dapat tercapai.
Baca juga: Filosofi Urip Iku Urup: Nilai Islam dalam Pitutur Sunan Kalijaga






