Jatengkita.id – Salah satu organisasi pergerakan yang lahir di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI). Organisasi ini didirikan oleh Haji Samanhudi pada tahun 1905 di Surakarta, Jawa Tengah dengan nama awal Sarekat Dagang Islam (SDI).
Dulu, organisasi ini didirikan sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni pedagang Tionghoa dan pemerintah kolonial Belanda yang diskriminatif terhadap pribumi.
Setelah beberapa tahun, organisasi ini tidak hanya berfokus pada persoalan ekonomi dan sosial, namun juga segala aspek kehidupan, termasuk politik untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, Sarekat Islam berkembang pesat di Nusantara hingga memiliki banyak cabang. Melihat ekspansi yang masif ini, pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah badan yang bertugas mengawasi organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Sarekat Islam mulai menghadapi kekacauan tahun 1914 ketika paham Marxisme menyusupi SI. Paham tersebut disebarkan oleh Henk Sneevliet melalui organisasi Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Ia adalah seorang sosialis dari Belanda.
SI Cabang Semarang menjadi target ISDV untuk menginternalisasi paham sosialisme sekuler ke tubuh Sarekat Islam. Upaya penyusupan ini ditempuh setelah ia gagal menyebarkan ideologinya, mengingat paham ini dibawa dari Eropa.
Semaun dan Darsono yang merupakan ketua dan wakil ketua SI Cabang Semarang berhasil terpapar paham komunisme dan mencoba menyebarkannya kepada anggota lain. Mereka adalah dua tokoh yang di kemudian hari dikenal sebagai tonggak lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di lain sisi, keberpihakan mereka pada ideologi Barat ini merupakan akibat tidak adanya aturan batasan keanggotaan seseorang dalam organisasi yang dibuat oleh SI Pusat.
Baca juga: Bukan Boedi Oetomo! Sarekat Islam Lebih Dulu Memperjuangkan Kemerdekaan
SI Putih VS SI Merah
Pertentangan ideologi antara HOS Tjokroaminoto dan Semaun terjadi pada Kongres Nasional tahun 1917 di Jakarta. Meski memiliki tujuan sama untuk mencapai kemerdekaan dari penjajah dan mensejahterakan rakyat, namun keduanya memiliki ideologi dan prinsip perjuangan yang bertentangan.
HOS Tjokroaminoto fokus pada perjuangan kemerdekaan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan keimanan terhadap Allah SWT. Ia percaya bahwa kesejahteraan, persatuan, dan kemerdekaan bisa diraih dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam, bukan sosialisme Barat.
Ia juga berpandangan bahwa untuk mencapai kemerdekaan, HOS Tjokroaminoto memilih untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dan tetap berada pada jalur nasionalisme.
Sementara Semaun berpandangan bahwa paham sosialisme-komunisme harus menjadi dasar untuk mewujudkan kesejahteraan. Ia juga mendukung gerakan revolusioner dan menghendaki aksi massa untuk mencapai kemerdekaan.
Semaun bahkan mengkritik bahwa Sarekat Islam adalah antek-antek Belanda dan mendukung gerakan kapitalisme. Ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari SI setelah Haji Agus Salim menerapkan disiplin organisasi, di mana keanggotaan seseorang hanya dibatasi pada satu organisasi dan melarang keanggotaan ganda.
Akibat perbedaan kontras tersebut, Sarekat Islam akhirnya terpecah menjadi SI Putih bagi yang masih mendukung HOS Tjokroaminoto dan SI Merah bagi yang memilih mendukung Semaun. Pada tahun 1920, ISDV dan SI Merah berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia.
Dinamika dalam internal Sarekat Islam menyebabkan kemunduran pada organisasi ini. Hingga akhirnya pada tahun 1931, pemerintah Hindia Belanda remi membubarkan Sarekat Islam.
Baca juga: Lika-Liku Haji Samanhudi Bangun Sarekat Dagang Islam