Jateng Catatkan 102 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2024

Jateng Catatkan 102 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2024
(Gambar : istockphoto.com)

Jatengkita.id – Sepanjang tahun 2024, kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah (Jateng) kembali menjadi isu yang mendesak perhatian. Berdasarkan laporan dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM), tercatat 102 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tersebar di 24 kabupaten/kota.

Kota Semarang menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 46 kasus. Ironisnya, hingga penghujung tahun, tidak satu pun korban yang berhasil menerima restitusi atau kompensasi atas kerugian fisik maupun mental yang mereka alami. Situasi ini menyoroti kompleksitas dan tantangan besar dalam upaya pemulihan hak-hak korban.

Dominasi Kekerasan Seksual

Dari 102 kasus yang dilaporkan, mayoritas atau sekitar 81 persen merupakan kekerasan seksual. Kasus-kasus ini mencakup pelecehan seksual (40 kasus), pemerkosaan (19 kasus), eksploitasi seksual (14 kasus), serta Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (16 kasus).

Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) juga dilaporkan sebanyak enam kasus, sementara pemaksaan aborsi dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender (SOGIESC) masing-masing mencatatkan dua dan satu kasus.

Yang membuat miris adalah mayoritas pelaku kekerasan berasal dari lingkaran terdekat korban, seperti pasangan, suami, tetangga, rekan kerja, hingga anggota keluarga seperti ayah kandung atau tiri, kakak tiri, dan paman.

Pola ini menunjukkan bahwa kekerasan sering kali terjadi di ruang privat, dengan 64 kasus atau 65 persen berlangsung di lingkungan seperti rumah, kos, atau tempat tinggal korban. Sisanya, 33 kasus terjadi di ruang publik, seperti hotel, rumah kosong, media sosial, atau toko.

Hambatan dalam Pencapaian Keadilan

Meski ratusan perempuan melaporkan kekerasan yang mereka alami, hanya 18 kasus yang berhasil dibawa ke ranah hukum. Hal ini disebabkan oleh berbagai hambatan, termasuk ketakutan akan stigmatisasi sosial dan kerumitan proses hukum.

Direktur LRC-KJHAM, Nur Laila Hafidhoh, menyatakan bahwa banyak korban enggan melapor karena khawatir akan dicap negatif oleh masyarakat atau mengalami reviktimisasi dalam proses hukum yang berbelit.

“Sistem hukum kita sering kali mempersulit korban untuk mendapatkan hak-haknya. Bahkan ketika ada keputusan hukum yang memasukkan restitusi, pelaksanaannya sering kali terhambat karena pelaku lebih memilih menjalani hukuman penjara daripada membayar kompensasi,” ungkapnya. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya sistem perlindungan korban di Indonesia.

Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Fenomena Multidimensi

Fenomena kekerasan terhadap perempuan di Jateng tidak hanya berdampak pada korban secara individu, tetapi juga memiliki dimensi sosial, hukum, dan budaya. Secara sosial, kekerasan ini mengakar pada norma patriarki yang masih kuat, di mana perempuan sering kali ditempatkan pada posisi subordinat.

Secara hukum, lemahnya pelaksanaan restitusi dan minimnya dukungan bagi korban menunjukkan perlunya reformasi sistem peradilan. Dari sisi budaya, stigma terhadap korban kekerasan seksual menjadi penghalang besar bagi perempuan untuk berbicara dan mencari keadilan.

Korban di Berbagai Usia

Kekerasan terhadap perempuan di Jateng tidak mengenal batas usia. Dari 102 korban yang tercatat pada 2024, mayoritas adalah perempuan dewasa (62 orang atau 57.4 persen), sementara sisanya adalah anak-anak (42 orang atau 38.9 persen).

Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan dari berbagai kelompok umur rentan menjadi target kekerasan, baik di ranah privat maupun publik.

kekerasan terhadap perempuan
(Gambar : istockphoto.com)

Feminisida dan Kasus Ekstrem Lainnya

Selain kekerasan seksual dan KDRT, LRC-KJHAM juga mencatat adanya lima kasus feminisida pada 2024. Beberapa kasus melibatkan perempuan yang dibunuh oleh pelanggannya, kenalan, atau bahkan pasangan mereka sendiri.

Salah satu kasus ekstrem terjadi ketika korban ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan setelah dibunuh oleh tiga pelaku yang dikenal melalui aplikasi kencan. Kasus-kasus seperti ini tidak hanya memperlihatkan eskalasi kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga kebutuhan mendesak untuk meningkatkan perlindungan hukum dan sosial bagi korban.

Upaya yang Dibutuhkan untuk Mengatasi Kekerasan

  1. Penguatan Sistem Hukum

Diperlukan perbaikan sistem hukum yang lebih pro-korban, termasuk penyederhanaan proses pelaporan dan penegakan restitusi. Negara harus memastikan bahwa pelaku kekerasan tidak hanya menerima hukuman penjara tetapi juga bertanggung jawab atas pemulihan korban.

  1. Peningkatan Kesadaran Publik

Masyarakat perlu diberikan edukasi yang lebih intensif tentang pentingnya menghormati hak-hak perempuan dan mendukung korban kekerasan. Kampanye anti-kekerasan dapat menjadi langkah awal untuk mengubah stigma negatif terhadap korban.

  1. Penyediaan Layanan Pendukung

Pemerintah dan organisasi non-pemerintah harus menyediakan layanan pendukung seperti pusat krisis, konseling psikologis, dan pendampingan hukum bagi korban kekerasan.

  1. Penguatan Peran Komunitas

Komunitas lokal dapat berperan aktif dalam mencegah kekerasan melalui program-program pemberdayaan perempuan, pemantauan lingkungan, dan pembentukan jaringan solidaritas untuk korban.

  1. Pengembangan Kebijakan yang Sensitif Gender

Kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan khusus perempuan, termasuk penyediaan tempat aman bagi korban, perlu diintegrasikan dalam program pemerintah daerah.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Mengatasi kekerasan terhadap perempuan di Jateng bukanlah tugas yang mudah. Selain membutuhkan kerja sama lintas sektor, diperlukan pula keberanian dari para korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami.

Pemerintah, aparat penegak hukum, serta masyarakat harus bahu-membahu menciptakan ekosistem yang mendukung pemulihan dan perlindungan bagi korban. Pada akhirnya, langkah-langkah nyata ini diharapkan dapat menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan memberikan rasa aman bagi mereka yang rentan menjadi korban.

Sebuah masyarakat yang menghormati hak-hak perempuan bukan hanya menciptakan keadilan, tetapi juga membangun fondasi yang kuat bagi kemajuan bersama. Kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah mencerminkan masalah yang jauh lebih besar, yakni ketimpangan gender dan lemahnya sistem perlindungan korban.

Dengan 102 kasus yang dilaporkan sepanjang tahun 2024, tantangan yang dihadapi korban untuk mendapatkan keadilan masih sangat besar. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-pemerintah untuk menciptakan sistem yang lebih responsif terhadap kebutuhan korban dan mampu mengurangi angka kekerasan secara signifikan.

Hanya dengan langkah-langkah konkret inilah, perempuan di Jateng dapat meraih keadilan yang sejati.

Anda mungkin suka : Marak Kasus Bullying Pada Remaja, Ini Penyebabnya