Jatengkita.id – Beberapa tradisi di Jawa tengah masih dilestarikan oleh masyarakat. Uniknya, tradisi tersebut masih dipercaya dan dijalankan pula oleh generasi sekarang, meskipun beberapa tradisi mungkin tampak kuno.
Tradisi merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat dan dapat mencakup berbagai hal seperti bahasa, agama, masakan, kebiasaan sosial, musik, dan seni. Seiring berkembangnya zaman, budaya telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Hal tersebut merupakan cara masyarakat untuk mengungkapkan nilai-nilai, kepercayaan, sejarah, serta identitas budaya yang mereka miliki. Tradisi juga memiliki beberapa karakteristik yang begitu khas, seperti ketetapan waktu pelaksanaan dan prosedur tertentu yang harus diikuti.
Berikut ini kami rangkum beberapa tradisi di Jawa Tengah yang masih dipercayai dan dilestarikan oleh masyarakatnya.

Tradisi Sadranan merupakan salah satu tradisi di Jawa Tengah. Sadran dilaksanakan dengan melakukan ziarah kubur dari makam ke makam dan disertai dengan menabur bunga atau disebut juga dengan istilah “nyekar”.
Kata Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “sraddha: yang berarti keyakinan. Tradisi ini menjadi reminisensi dari upacara Sraddha Hindu yang dilaksanakan pada zaman dahulu. Masyarakat Jawa melaksanakan upacara Sadran pada bulan Jawa Islam, yaitu Ruwah tepatnya sebelum bulan puasa atau pada bulan Ramadan menurut tahun Hijriyah.
Shraddha dilakukan untuk menghormati arwah nenek moyang dan mensyukuri alam dan air yang melimpah. Masing-masing daerah di Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam menyelenggarakan Nyadran.
Umumnya, sadranan dilaksanakan menggunakan keranjang berisi nasi, sayur, dan lauk pauk yang dibawa masyarakat Jawa saat membersihkan makam leluhur.
Setelah Islam masuk ke Indonesia, Wali Songo selalu berupaya menyebarkan agama Islam dengan memasukkan ajaran agama ke budaya yang telah ada. Hal ini membuat ajarannya lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Itulah mengapa budaya shraddha kemudian diubah menjadi nyadran dan dikembangkan sesuai ajaran agamaIislam. Dalam tradisi nyadran ini, ada beberapa rangkaian kegiatan lain guna mempererat hubungan bermasyarakat.
- Besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Hal ini biasa dilakukan dengan gotong royong.
- Kirab, yaitu arak-arakan peserta nyadran menuju tempat di mana nyadran dilaksanakan.
- Ujub, merupakan sesi penyampaian tujuan kegiatan oleh pemangku adat masing-masing.
- Doa, dilakukan dengan prosesi doa bersama yang ditujukan kepada para leluhur dan dipimpin oleh pemangku adat.
- Kenduri/Kembul Bujono, yaitu makan bersama seluruh masyarakat yang terlibat dalam tradisi ini.
- Tradisi Tingkeban

Tingkeban merupakan tradisi di Jawa Tengah untuk memperingati tujuh bulan bayi yang ada dalam kandungan. Upacara ini dilaksanakan paling akhir sebelum masa kelahiran. Dalam pelaksanaan upacara tingkeban, ibu hamil dimandikan dengan air bunga setaman menggunakan gayung dari batok kelapa.
Hakikat dari tingkeban adalah untuk mendoakan ibu hamil serta calon bayi agar keduanya sehat dan selamat hingga menjelang hari kelahiran. Tradisi ini memiliki beberapa ritual yang perlu dilakukan dan setiap prosesi memiliki filosofi dan makna tersendiri.
- Siraman, dilakukan untuk menyucikan secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Prosesi ini dilakukan oleh tujuh orang bapak dan ibu yang diteladani dari calon ibu dan calon ayah.
- Takir Pontang, yaitu tempat makanan yang akan disajikan. Wadah ini terbuat dari daun pohon pisang dan janur yang dibentuk menyerupai kapal, Maksud dari prosesi ini adalah bahwa dalam mengarungi bahtera kehidupan, harus menata diri dan menata pikiran.
- Pembagian rujak. Filosofi dari rangkaian acara ini adalah usaha sebagai calon orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak kelak. Prosesi ini pun merupakan sebuah harapan agar si anak mendapat banyak rejeki.
- Tedak Siten

Tradisi di Jawa Tengah ini dilakukan saat usia bayi telah mencapai tujuh atau bahkan delapan bulan. Istilah dari tedak siten berasal dari bahasa Jawa, yaitu kata “tedak” yang artinya kaki dan “siten” atau “siti” yang berarti tanah.
Tradisi ini bertujuan agar anak dapat tumbuh menjadi sukses di masa depan. Tedak siten memiliki tujuh rangkaian yang setiap prosesnya saling berkaitan satu dengan lainnya.
Pada tahap pertama, anak akan dituntun untuk berjalan di tujuh jadah dengan tujuh warna, yaitu merah, coklat, kuning, ungu, biru, hijau dan putih. Setiap warna jadah tersebut mencerminkan sebuah simbol dari kehidupan.
Selain menggambarkan doa dan harapan dari orang tua, tradisi ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan karena telah diberi keturunan. Upacara tedak siten dilakukan ketika seorang anak perempuan atau laki-laki berusia 7 lapan.
Hal ini dikarenakan satu lapan sama dengan 35 hari. Jadi, umur anak saat mengadakan tedak siten berusia 245 hari. Pada usia ini, perkembangan anak sudah berada pada tahap berdiri dan kaki anak sudah bisa menginjak tanah.
Biasanya, pihak orang tua yang mengadakan tedak siten membutuhkan peralatan yang diperlukan. Diantaranya kurungan dari bambu seperti untuk mengurung ayam, aneka jenang warna-warni yang terbuat dari ketan, tangga dan kursi yang dibuat dari tebu, ayam panggang, tumpeng, dan uang kertas atau receh untuk disebarkan.
Ada pula banyu gege (air gege) yang dibiarkan semalam di tempat terbuka dan paginya terkena sinar matahari sampai jam delapan. Ayam hidup dilepaskan dan diperebutkan kepada tamu undangan.
- Tradisi Ruwatan

Ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Tengah. Ruwat sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama seperti kata “luwar” yang maknanya adalah dibebaskan atau dilepaskan.
Upacara Ruwatan adalah upacara yang dilaksanakan untuk dapat membesarkan maupun melepaskan seseorang dari suatu hukuman atau kutukan yang diberikan oleh yang kuasa dan dapat menimbulkan marabahaya.
Asal-usul ruwatan sebenarnya berasal dari kisah pewayangan. Kisah itu menceritakan seorang tokoh Batara Guru yang punya dua orang isri, yaitu Pademi dan Selir. Tradisi ruwatan biasanya digelar pada tanggal satu Suro, yaitu tahun baru Jawa.
Tujuan dari tradisi ruwatan adalah untuk membebaskan atau menyucikan diri dari dosa, kesalahan, dan kesialan. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya sajen.
Macam-macam sajen dalam upacara ruwatan terdiri dari kemenyan wangi, kain mori putih, kain batik, padi segedeng, beragam nasi, jenang, jajan pasar, benang lawe, aneka rujak , dan air tujuh sumber bunga setaman.
Sajen adalah makanan dan benda lain, seperti bunga, yang digunakan sebagai sarana komunikasi atau interaksi dengan makhluk tak kasat mata.
- Tradisi Wetonan

Tradisi Wetonan pada masyarakat Jawa Tengah masih lestari hingga saat ini. Kata “wetonan” dalam bahasa Jawa berarti “keluar” dan berhubungan dengan kelahiran. Upacara ini dilakukan untuk menyambut bayi yang baru lahir berdasarkan kalender Jawa dengan pasarannya, seperti Legi, Pon, Pahing, Wage, dan Kliwon. Biasanya, tradisi ini dilakukan saat bayi berusisa 35 hari.
Perhitungan weton didasarkan pada kombinasi perhitungan kalender Masehi dan perhitungan hari di penanggalan Jawa. Pada saat hari Weton, keluarga akan menyiapkan berbagai suguhan sebagai bentuk syukur.
Selain itu, tradisi di Jawa Tengah ini dilakukan untuk menghormati sedulur papat yang terdiri dari empat elemen, yaitu air kawah (air ketuban), ari-ari (plasenta), getih (Darah), dan pusar (tali pusar). Tradisi wetonan dilakukan berbeda-beda di setiap wilayah, namun tradisi tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu memohon keselamatan.
Peringatan wetonan ada yang dilakukan dengan meditasi, mengheningkan diri, dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Sekaten

Sekaten adalah perayaan tahunan di Jawa Tengah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi ini diperingati setiap tahun pada tanggal lima hingga 11 Rabiul Awal atau bulan Mulud dalam kalender Jawa.
Acara ini berlangsung selama satu minggu dengan kegiatan seperti pawai kembang api, pasar malam, pertunjukan wayang kulit, dan musik gamelan. Kata Sekaten berasal dari kata “syahadatain” yang berarti dua kalimat syahadat.
Tradisi di Jawa Tengah ini dimulai pada masa Kesultanan Demak ketika para Wali Songo menggunakan gamelan untuk berdakwah. Sekaten terus menerus dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, di anataranya Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, hingga Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta.
Perayaan Sekaten sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi acara rutin tahunan di antaranya di Kota Solo dan Yogyakarta. Puncak acara tradisi ini adalah Grebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Pada Grebeg Maulud, masyarakat menyaksikan kirab gunungan yang berisi makanan hasil bumi dari keraton ke Masjid Agung. Perayaan Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta biasanya dimulai beberapa hari sebelum Maulid Nabi.
Salah satu elemen yang paling khas dalam Sekaten adalah gamelan Sekati, yaitu dua perangkat gamelan yang diberi nama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Gamelan ini dimainkan secara khusus di halaman masjid keraton. Orang-orang percaya bahwa mendengarkan alunan gamelan tersebut dapat membawa berkah.
- Syawalan

Tradisi Syawalan adalah perayaan umat Islam setelah Ramadan. Syawalan disebut juga dengan istilah “halalbihalal”, di mana orang-orang akan mendatangi rumah orang lain untuk meminta maaf dan pemilik rumah akan menyambut orang itu dengan gembira.
Tradisi di Jawa Tengah ini merupakan bentuk konkret dari sikap tolong-menolong dan saling memaafkan. Bulan Syawal merupakan bulan ke sepuluh dalam kalender tahun Hijriyah. Syawalan meliputi salat Idul Fitri di pagi hari, kunjungan ke rumah kerabat, dan memberi ucapan selamat Idul Fitri.
Tradisi ini juga mencakup acara makan bersama dan berkumpul dengan keluarga besar. Pertemuan syawalan itu dilaksanakan utamanya di bulan Syawal.
Tonton video : Mampir Salat di Masjid Syekh Zayed Solo