Jatengkita.id – Blora merupakan kabupaten yang terletak di provinsi Jawa Tengah dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Dalam catatan administratif, Kabupaten Blora terletak di wilayah paling ujung (bersama Kabupaten Rembang) di sisi timur Provinsi Jawa Tengah.
Secara geografis, Kabupaten Blora terletak di antara 111°016′ sampai dengan 111°338′ Bujur Timur dan diantara 6°528′ sampai dengan 7°248′ Lintang Selatan. Berdasarkan data 2020, luas wilayah Blora mencapai 1.820,59 kilometer persegi dan dihuni oleh 884.333 jiwa.
Blora juga dikenal sebagai Kota Mustika yang merupakan singkatan dari Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman. Secara etimologi, Blora berasal dari dua kata yaitu “wai” dan “lorah”. Wai berarti air, sedangkan Lorah memiliki arti jurang atau tanah rendah.
Namun dalam perkembangannya, masyarakat Jawa seringkali mengubah pengucapan W menjadi B. Hal itu membuat nama Wailorah berubah menjadi Bailorah, yang kemudian menjadi Blora sampai sekarang.
Arti kata Blora yaitu tanah rendah berair atau berlumpur. Arti Blora sebagai lumpur ini sesuai dengan cerita rakyat yang menyebutkan Blora berasal dari kata “belor” yang artinya lumpur. Kabupaten Blora memiliki beberapa julukan seperti Kota Sate, Kota Barongan, Kota Sampin, hingga Kota minyak.
Penasaran fakta unik apa saja yang dimiliki Kabupaten Blora? Simak ulasannya berikut ini!
- Berjuluk Kota Jati
Blora menjadi kota yang kaya akan kekayaan alam. Banyak hutan yang sebagian besarnya ditanami pohon jati. Hal Ini dikarenakan Blora memang dikenal sebagai Kota Kayu Jati dan dikenal sebagai produsen kayu jati terbaik. Hal ini menjadikan Blora sebagai penghasil kayu jati terbesar se-pulau Jawa.
Tentu hal tersebut menjadikan peluang bagi warga Blora, khususnya pengrajin kayu jati yang dapat ditemui di daerah Beran, Ngampon, Blora Kota. Nantinya, kayu jati ini akan diubah menjadi berbagai benda bernilai tinggi seperti meja, kayu, gazebo, pintu, dan masih banyak lagi.
Salah satu sentra kerajinan kayu jati ada di Kecamatan Jepon. Kerajinan yang khas adalah gembol atau akar pohon jati yang dibuat menjadi berbagai jenis mebel.
Blora merupakan salah satu kabupaten yang memiliki beragam kuliner unik dan lezat. Ada banyak makanan dari kota ini yang begitu otentik dan pastinya patut dicoba. Misalnya, nasi pecel daun jati.
Biasanya makanan seperti pecel di daerah lain umumnya menggunakan kertas minyak atau daun pisang sebagai wadah untuk pembungkus. Namun, pecel khas Blora dibungkus langsung dari daun jati untuk memperkuat aroma khasnya. Sehingga, hal tersebut semakin menambah kenikmatan nasi pecel Blora.
Selain itu, daun jati lebih ramah lingkungan daripada pembungkus plastik yang bisa menimbulkan penumpukan sampah. Adapun kuliner lain dari Blora yang khusus dibungkus dengan daun jati diantaranya getuk, nasi jagung, nasi berkat, dan serabi.
Membungkus makanan dengan daun jati merupakan tradisi yang telah turun-temurun di Blora. Bahkan, daun jati juga bisa diolah menjadi kompos penyubur tanaman. Makanan khas Blora lainnya adalah soto kletuk, lontong tahu, kopi santan, sate ayam Blora, tape sugihan, dumbeg, dan abon lele.
- Kesenian Barongan yang Masih Lestari
Seni Barong merupakan kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Blora. Kesenian Barongan Blora bersumber dari cerita Panji Asmara Bangun dalam Hikayat Panji, yaitu kisah tentang perjalanannya untuk melamar Dewi Sekartaji.
Kesenian ini memiliki beberapa kemiripan dengan Reog Ponorogo, seperti tokoh dan pola pementasannya. Kemudian, para seniman Barongan Blora berinovasi untuk memperkuat jati diri kesenian Barongan Blora dengan membuat kepala barongan menyerupai macan atau singa yang besar.
Kata “barongan” merujuk pada suatu perlengkapan (topeng beserta aksesorisnya) yang dibuat menyerupai Singa Barong yang buas sebagai sang penguasa hutan. Kesenian ini merupakan tarian kelompok yang menirukan keperkasaan seekor singa raksasa.
Singa Barong menjadi tokoh utama dan dominan dalam kesenian ini. Alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional seperti kendang, gedhuk, bonang, saron, demung, dan kempul. Seni Barong mencerminkan sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.
Barongan Blora memiliki keunikan tersendiri yaitu gamelan pengiring. Barongan Blora identik dengan pakem bermain dari tempo yang lambat ke tempo yang cepat. Hal ini didasarkan pada sorakan masyarakat saat pegelaran barongan.
Cerita Barongan diambil dari kisah Raden Panji Asmarabangun yang kemudian divariasi namun tidak mengubah alur cerita utamanya. Tokoh-tokohnya terdiri dari Singa Barong (Gembong Amijoyo), Gendruwon (Joko Lodro), Penthul (Untub, Noyontko dan Mbok Ginah), Jaranan (Pasukan dari Jenggala) dan Patih Punjangga Anom (Bujangganong).
Seni Barong ini sering ditampilkan di acara besar seperti menyambut Hari Kemerdekaan, Sedekah Bumi, sunatan, resepsi pernikahan dan acara besar lainnya.
Blora tidak hanya terkenal sebagai penghasil kayu jati terbaik di Indonesia, namun juga sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil minyak bumi mentah. Kabupaten Blora merupakan kabupaten kecil di Provinsi Jawa Tengah dengan bentangan pegunungan kapur yang tandus dan keras.
Di Blora, sejarah mencatat kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi. Sejarah perminyakan di Kabupaten Blora tidak terlepas dari peran serta Raden Mas Adipati Arya (RMAA) Tjokronegoro III, yaitu Bupati Blora era 1886-1912 masehi.
Ia menjadi tokoh pribumi yang mendorong kolonial Belanda bernama Adrian Stoop yang merupakan pemilik perusahaan minyak Belanda, “De Dordtsche Petroleum Maatschappij” hingga akhirnya menemukan sumber minyak di Blora pada tahun 1887 masehi.
Rekam sejarah minyak dan gas di Kabupaten Blora sendiri saat ini mengalami banyak perubahan dalam hal tata kelola. Ada tiga kali pergantian aturan mengenai tata kelola minyak dan gas, yakni masa penjajahan kolonial Belanda yang saat itu dipimpin RMAA Tjokronegoro III, masa pascakemerdekaan (Soekarno dan Soeharto), dan masa era reformasi.
Salah satu kota yang berkontribusi besar untuk produksi minyak dan gas adalah Cepu. Hal ini menjadikan Cepu lebih banyak dikenal dibandingkan dengan Blora itu sendiri. Terlebih lagi, nama Blok Cepu digunakan untuk menyebut wilayah kontrak minyak dan gas bumi di wilayah Cepu dan sekitarnya.
Suku Samin adalah suku adat yang tinggal di pedalaman Kabupaten Blora, Jawa Tengah dan juga menyebar ke beberapa daerah lain. Nama Suku Samin berasal dari Samin Surosentiko, seorang penduduk desa yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, pada tahun 1859.
Suku Samin menganut ajaran Saminisme yang merupakan konsep penolakan terhadap budaya kolonial dan kapitalisme. Ki Samin Surosentiko sangat dihormati masyarakat setempat. Dirinya dikenal sosok mulia dan intelektual desa.
Namun, pemerintah Belanda menganggap Samin sebagai penjahat yang keluar-masuk penjara. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Samin menolak membayar pajak dan menentang peraturan yang diberlakukan pemerintah kolonial.
Sikap inilah yang membuat mereka dinilai buruk pada masa itu. Masyarakat Samin kemudian mengisolasi diri hingga pada pada tahun 1970-an mereka baru mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Suku Samin menganggap semua orang sebagai saudara dan menjunjung tinggi kebersamaan.
Mereka tinggal berpencar di desa yang tersebar di Kabupaten Blora. Dalam satu desa, biasanya terdiri dari lima hingga enam kepala keluarga. Sampai saat ini, suku ini masih memegang teguh solahing ilat atau gerak lidah. Makna ajaran ini yaitu menjaga lisan agar tetap mengucapkan kata-kata yang baik dan tidak menyakiti hati orang lain.