Jatengkita.id – Menjadi anak sulung sering kali dianggap sebagai posisi yang penuh kehormatan dalam struktur keluarga. Anak pertama identik dengan kemandirian, kedewasaan, tanggung jawab, dan keteladanan.
Namun, di balik segala label positif itu, tersembunyi realitas yang tak selalu mudah: tekanan mental dan beban psikologis yang sering tidak disadari oleh orang tua maupun masyarakat.
Fenomena ini kini semakin banyak disorot, terutama oleh generasi muda yang mulai menyuarakan pengalaman mereka sebagai anak sulung melalui media sosial. Ungkapan “capek jadi anak sulung” bukan sekadar keluhan biasa, melainkan bentuk ekspresi dari kelelahan emosional yang telah lama dipendam.
Tuntutan Sejak Usia Dini
Sejak kecil, anak sulung biasanya menjadi objek ekspektasi yang tinggi. Mereka diminta menjadi panutan bagi adik-adiknya, dituntut untuk lebih sabar, lebih kuat, dan lebih dewasa dari anak-anak seusianya.
Dalam banyak keluarga, anak pertama adalah “perpanjangan tangan” orang tua, mereka membantu menjaga adik, membereskan rumah, bahkan kadang menjadi tempat curhat atau beban finansial keluarga.
Tak jarang, anak sulung terpaksa menanggalkan masa kecilnya terlalu dini. Ketika anak-anak lain menikmati dunia bermain dan belajar, anak sulung sudah akrab dengan tanggung jawab yang berat.
Mereka dituntut untuk mengalah, mengerti keadaan keluarga, dan selalu “tahu diri” sebagai anak pertama.
Tekanan semacam ini tidak selalu disampaikan secara verbal, tapi sering muncul dalam bentuk harapan-harapan tak tertulis.
Misalnya, ketika terjadi masalah dalam keluarga, anak sulunglah yang diminta untuk bersabar. Jika adik melakukan kesalahan, anak sulung yang disalahkan karena tidak bisa menjadi contoh yang baik.
Ekspektasi dan Ketimpangan Perlakuan
Perbedaan perlakuan antara anak sulung dan anak-anak lainnya juga menjadi sumber kelelahan mental yang signifikan. Anak pertama cenderung diperlakukan lebih ketat: harus disiplin, mandiri, tidak boleh manja, dan harus bisa diandalkan.
Sementara itu, adik-adiknya bisa mendapatkan toleransi lebih besar, dengan alasan mereka “masih kecil” atau “belum mengerti.”
Situasi seperti ini menciptakan ketimpangan psikologis. Anak sulung merasa dirinya tidak boleh melakukan kesalahan. Mereka terbiasa menekan emosi, memendam keinginan pribadi, dan mendahulukan kepentingan orang lain—karena itulah yang diharapkan dari seorang anak pertama.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat melahirkan berbagai dampak psikologis seperti perfeksionisme. Anak sulung cenderung ingin melakukan segala sesuatu dengan sempurna karena terbiasa dengan ekspektasi tinggi.
Selain itu, mereka juga memiliki rasa bersalah lebih. Mereka mudah menyalahkan diri sendiri jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, bahkan jika itu di luar kendalinya.
Kecenderungan menjadi “people pleaser” karena terbiasa menyenangkan orang tua dan adik, anak sulung sering kesulitan berkata tidak dan lebih memilih mengorbankan diri demi orang lain.
Anak pertama juga kesulitan mengekspresikan emosi. Mereka terbiasa terlihat kuat dan tenang, meski di dalam hati sedang kalut atau lelah.

Dampak Psikologis dalam Kehidupan Dewasa
Tekanan yang dialami sejak kecil ini tidak menguap begitu saja saat anak sulung tumbuh dewasa. Sebaliknya, banyak dari mereka membawa beban emosional itu ke dalam hubungan sosial, pendidikan, karier, dan bahkan kehidupan rumah tangga.
Anak sulung cenderung memikul tanggung jawab yang lebih besar di tempat kerja. Mereka sulit mendelegasikan tugas karena terbiasa mengurus segalanya sendiri.
Dalam hubungan pribadi, mereka mungkin sulit mengungkapkan perasaan atau meminta bantuan karena terbiasa menjadi pihak yang memberi, bukan menerima.
Tak sedikit yang mengalami burnout atau kelelahan mental karena tekanan yang terus-menerus. Ironisnya, banyak anak sulung tidak menyadari bahwa kelelahan itu berasal dari pola asuh dan tekanan psikologis sejak kecil yang belum selesai.
Mengapa Fenomena Ini Kurang Disadari?
Salah satu alasan mengapa beban psikologis anak sulung kurang mendapat perhatian adalah karena ia tersamar di balik pencitraan “anak baik”. Karena terlihat kuat dan tidak banyak mengeluh, banyak orang tua menganggap anak pertama bisa menghadapi semuanya sendiri.
Di sisi lain, budaya timur yang menjunjung tinggi hierarki dan pengorbanan dalam keluarga turut memperkuat peran anak sulung sebagai pihak yang harus selalu mengalah dan memberi.
Ungkapan seperti “namanya juga kakak, harus bisa ngalah” telah menjadi norma yang dianggap wajar, tanpa mempertimbangkan dampaknya secara emosional.
Baca juga: Menjadi Single di Usia 30-an: Pilihan atau Tekanan Sosial?
Langkah Mengatasi Beban Psikologis Anak Sulung
- Kesadaran Orang Tua
Orang tua perlu memahami bahwa setiap anak memiliki kapasitas emosional yang berbeda. Anak sulung bukanlah miniatur orang tua. Memberikan kasih sayang, validasi emosi, dan keadilan dalam perlakuan dapat membantu mereka tumbuh dengan lebih sehat secara mental.
- Komunikasi yang Terbuka
Anak sulung harus diberi ruang untuk berbicara tentang perasaannya. Alih-alih menuntut kedewasaan, lebih baik membuka dialog untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan.
- Bantuan Profesional
Jika anak sulung menunjukkan tanda-tanda stres, cemas, atau depresi, sebaiknya mendapatkan bantuan dari psikolog atau konselor. Intervensi dini sangat penting untuk mencegah dampak jangka panjang.
- Memberi Ruang untuk Diri Sendiri
Anak sulung yang telah dewasa juga perlu belajar memberi ruang bagi dirinya sendiri. Menolak permintaan yang melelahkan bukan berarti egois. Mengutamakan kesehatan mental adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri.
Menghargai perasaan mereka, menghapus standar ganda dalam keluarga, serta memberi ruang untuk tumbuh sebagai individu yang utuh bukan hanya sebagai “kakak” adalah langkah penting untuk menciptakan keluarga yang lebih sehat secara emosional.
Karena sejatinya, anak sulung juga berhak merasa lelah. Mereka juga berhak didengar, dipahami, dan dicintai tanpa syarat.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!