Menjadi Single di Usia 30-an: Pilihan atau Tekanan Sosial?

Menjadi Single di Usia 30-an: Pilihan atau Tekanan Sosial?
(Ilustrasi: istockphoto.com)

Jatengkita.id – Di tengah derasnya arus perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat modern, status pernikahan tetap menjadi topik yang sensitif. Salah satu stigma yang masih melekat kuat adalah pandangan terhadap mereka yang memilih atau terpaksa menjalani kehidupan single di usia 30-an.

Status pernikahan seringkali menjadi ukuran keberhasilan hidup, terutama di banyak budaya Asia, termasuk Indonesia.

Pertanyaannya pun mengemuka: menjadi single di usia 30-an, apakah itu sebuah pilihan sadar atau sekadar hasil tekanan sosial yang membuat seseorang terjebak dalam dilema?

Perspektif Sosial terhadap Status Lajang

Bagi sebagian besar masyarakat tradisional, usia 30-an dianggap sebagai masa yang “terlambat” untuk belum menikah. Perempuan, khususnya, kerap menjadi sasaran empuk komentar miring seperti “keburu tua”, “susah punya anak”, atau “terlalu pilih-pilih”.

Pria pun tidak sepenuhnya luput dari tekanan, meski umumnya lebih “dimaklumi”, tetapi tetap akan mendapat komentar seperti “kapan nyusul?” atau “laki-laki kok belum mapan sampai sekarang?”

Tekanan ini tak hanya datang dari keluarga, tetapi juga dari lingkungan kerja, teman-teman sebaya, bahkan media sosial.

Unggahan tentang pernikahan, kelahiran anak, atau ulang tahun pernikahan kerap kali menjadi pengingat keras bagi para lajang bahwa mereka belum mencapai “tahap hidup” yang dianggap ideal oleh masyarakat.

Menjadi Single: Pilihan Sadar atau Terpaksa?

Menjadi lajang di usia 30-an tidak selalu berarti seseorang “tidak laku” atau “tidak laku kawin”. Banyak yang secara sadar memilih untuk tidak terburu-buru menikah karena ingin mengejar pendidikan, memperkuat karier, atau menjalani hidup yang lebih bermakna secara pribadi.

Mereka menikmati kebebasan, waktu untuk diri sendiri, dan ruang untuk tumbuh tanpa keterikatan tanggung jawab rumah tangga.

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa ada juga yang merasa tertekan karena belum menemukan pasangan yang tepat, mengalami trauma hubungan masa lalu, atau merasa tidak percaya diri untuk memulai komitmen baru.

Dalam kasus ini, kesendirian bisa menjadi kondisi yang tak sepenuhnya diinginkan, melainkan hasil dari berbagai dinamika hidup yang rumit.

Perempuan dan Beban Ganda Sosial

Dalam konteks perempuan, menjadi single di usia 30-an sering kali dipandang sebagai kegagalan atau “kutukan”. Sejumlah budaya patriarkal menekankan bahwa kodrat perempuan adalah menikah dan memiliki anak.

Bahkan, pencapaian karier setinggi apa pun kerap dianggap tak berarti jika belum menikah. Hal ini menciptakan tekanan psikologis yang mendalam, menyebabkan banyak perempuan merasa tidak cukup hanya dengan menjadi sukses secara profesional.

Sebaliknya, muncul juga gelombang perempuan yang menolak stigma ini. Mereka membangun komunitas, menyuarakan hak untuk memilih hidup sendiri tanpa dianggap gagal, dan memperjuangkan hak atas tubuh serta kebebasan mereka.

Di media sosial, tagar seperti #SingleAndHappy atau #MyLifeMyChoice menjadi bentuk perlawanan atas norma sosial yang membatasi perempuan.

single di usia 30-an
(Gambar: istockphoto.com)

Baca juga: Remaja dan Tren Vintage Kembali Mendominasi Sekolah

Pria Lajang dan Stigma Maskulinitas

Bagi pria, tekanan untuk menikah di usia 30-an umumnya dikaitkan dengan anggapan bahwa mereka belum mapan atau belum siap secara finansial.

Dalam budaya maskulinitas tradisional, pria harus menjadi pencari nafkah dan pelindung keluarga. Maka, pria yang belum menikah bisa dianggap tidak “layak” atau tidak bertanggung jawab.

Namun, generasi baru pria mulai mempertanyakan nilai-nilai ini. Banyak dari mereka yang kini lebih fokus pada pertumbuhan pribadi, menjalin relasi sehat tanpa tekanan menikah, atau mengejar kebahagiaan dalam cara yang tak selalu berkaitan dengan pernikahan.

Merayakan Pilihan, Bukan Menyerah pada Tekanan

Tak bisa diabaikan, tekanan sosial terhadap status lajang di usia 30-an bisa berdampak pada kesehatan mental. Rasa cemas, stres, bahkan depresi bisa muncul karena merasa “tertinggal” dari teman sebaya.

Pertanyaan berulang dari keluarga saat hari raya, atau komentar sinis dari rekan kerja, bisa terasa sangat melelahkan secara emosional.

Di tengah pertarungan antara ekspektasi sosial dan keputusan personal, menjadi lajang di usia 30-an adalah kenyataan yang sangat manusiawi. Ada yang memilihnya dengan sadar, ada pula yang sedang menavigasi kehidupan menuju arah tersebut.

Menjadi single di usia 30-an bukanlah kegagalan, bukan pula pertanda bahwa seseorang tidak layak dicintai. Ini adalah fase hidup yang sah dan bisa sangat produktif, membahagiakan, bahkan bermakna.

Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *