Jatengkita.id – Vitiligo merupakan kelainan pigmentasi kronis yang ditandai dengan hilangnya warna kulit akibat kerusakan atau tidak berfungsinya sel melanosit. Berdasarkan Journal of Medicine and Health (JMH), prevalensi vitiligo mencapai sekitar satu persen dari populasi dunia, dengan angka kejadian antara 0,5-2% tanpa memandang tipe kulit.
Penyakit ini biasanya muncul sebelum usia 20 tahun dan dapat terjadi di berbagai bagian tubuh, termasuk wajah, tangan, puting susu, umbilikus, serta area genital.
Etiologi dan Patogenesis Vitiligo
Penyebab pasti vitiligo masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi sejumlah teori telah dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari perkembangan penyakit ini.
1. Hipotesis Genetik
Faktor genetik dianggap sebagai salah satu penyebab utama vitiligo. Studi menunjukkan bahwa sekitar 20–30 persen pasien vitiligo memiliki riwayat keluarga dengan kondisi yang sama.
Hal ini menunjukkan adanya predisposisi genetik dalam perkembangan vitiligo. Beberapa gen yang dikaitkan dengan vitiligo meliputi berikut ini.
- NLRP1 (Nucleotide-binding oligomerization domain, leucine-rich repeat, and pyrin domain-containing 1), berperan dalam regulasi inflamasi dan respons imun.
- PTPN22 (Protein tyrosine phosphatase, non-receptor type 22), berhubungan dengan penyakit autoimun seperti lupus dan diabetes tipe.
- TYR (Tyrosinase), terlibat dalam produksi melanin.
Ketika seseorang memiliki variasi gen tertentu, mereka dapat lebih rentan terhadap kerusakan melanosit akibat faktor lingkungan atau gangguan imunologi.
2. Stres Oksidatif dan Kerusakan Melanosit
Hipotesis stres oksidatif menyatakan bahwa akumulasi radikal bebas dan reaktif oksigen spesies (ROS) dalam sel kulit dapat merusak melanosit, yang akhirnya menyebabkan depigmentasi.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan stres oksidatif dalam tubuh di antaranya paparan sinar ultraviolet (UV) yang berlebihan, paparan zat kimia beracun, seperti fenol dan hidrokuinon, polusi lingkungan, dan stres emosional yang tinggi.
Pada penderita vitiligo, ditemukan adanya disfungsi sistem antioksidan yang menyebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan eliminasi ROS. Akumulasi ROS ini akan menyebabkan apoptosis (kematian sel) melanosit dan hilangnya pigmen kulit.
3. Mekanisme Autoimun dalam Vitiligo

Vitiligo sering dikaitkan dengan penyakit autoimun, seperti penyakit tiroid autoimun (Hashimoto, Graves), lupus eritematosus sistemik (LES), diabetes tipe 1, dan penyakit Addison.
Dalam teori ini, sistem kekebalan tubuh secara keliru mengenali melanosit sebagai sel berbahaya dan menyerangnya. Antibodi dan sel T autoreaktif diduga berperan dalam penghancuran melanosit.
Beberapa bukti yang mendukung hipotesis ini adalah ditemukannya antibodi anti-melanosit dalam darah pasien vitiligo. Selanjutnya, meningkatnya kadar sitokin pro-inflamasi, seperti TNF-α, IFN-γ, dan IL-17, yang berperan dalam penghancuran sel melanosit.
Bukti lain adalah keberhasilan terapi imunosupresif, seperti kortikosteroid, dalam memperlambat perkembangan vitiligo
4. Gangguan Adhesi Melanosit
Melanosit menempel pada lapisan basal kulit dengan bantuan protein adhesi, seperti E-cadherin dan integrin. Pada penderita vitiligo, terdapat gangguan dalam mekanisme adhesi ini, sehingga melanosit menjadi lebih rentan untuk lepas dari jaringan kulit.
Faktor-faktor yang dapat memperburuk gangguan adhesi melanosit meliputi trauma fisik atau gesekan berulang pada kulit (fenomena Koebner), paparan zat kimia beracun, dan inflamasi kronis.
Ketika melanosit tidak dapat menempel dengan baik, sel-sel ini akan mengalami apoptosis, sehingga menyebabkan depigmentasi kulit secara progresif.
5. Teori Neurohumoral dan Autositotoksisitas
Hipotesis ini menghubungkan vitiligo dengan faktor neurologis dan kerusakan sel melanosit secara internal.
Teori Neurohumoral menyatakan bahwa neurotransmitter tertentu, seperti norepinefrin, dapat menghambat aktivitas tirosinase, enzim utama dalam sintesis melanin. Hal ini dapat menjelaskan mengapa vitiligo sering muncul di area yang kaya akan ujung saraf, seperti tangan dan wajah.
Teori Autositotoksisitas mengusulkan bahwa produk sampingan dari metabolisme melanosit sendiri dapat menjadi toksik bagi selnya sendiri, menyebabkan apoptosis melanosit secara spontan.
6. Defisiensi Vitamin D dan Hiperhomosisteinemia
Vitamin D berperan dalam imunomodulasi dan diferensiasi melanosit. Studi menunjukkan bahwa banyak pasien vitiligo mengalami defisiensi vitamin D yang dapat memperburuk kerusakan melanosit akibat autoimunitas dan stres oksidatif.
Hiperhomosisteinemia yaitu tingginya kadar homosistein dalam darah yang dapat menyebabkan disfungsi endotel dan stres oksidatif yang turut berkontribusi dalam perkembangan vitiligo.
Nutrisi lain yang juga berperan dalam kesehatan melanosit meliputi asam folat dan vitamin B12 yang penting dalam metabolisme melanosit dan zinc dan tembaga yang berperan sebagai kofaktor dalam sintesis melanin.
Faktor Pemicu Eksternal Vitiligo
Selain faktor genetik dan patofisiologi di atas, beberapa faktor lingkungan dapat memicu atau memperburuk vitiligo.
- Paparan bahan kimia (misalnya fenol, hidrokuinon, dan zat kimia di lingkungan kerja)
- Infeksi virus atau bakteri yang dapat memicu respons imun abnormal terhadap melanosit
- Trauma fisik atau luka bakar yang dapat menginduksi depigmentasi melalui fenomena Koebner
- Stres emosional yang dapat memperburuk peradangan dan stres oksidatif dalam tubuh
Gejala Awal dan Perkembangan Vitiligo
Gejala utama vitiligo adalah munculnya bercak putih yang lebih cerah dari warna kulit normal. Bercak ini biasanya berkembang secara bertahap dan dapat meluas ke bagian tubuh lainnya.
- Bercak Putih di Kulit
Biasanya pertama kali muncul di tangan, kaki, wajah, leher, atau punggung. - Perubahan Warna Rambut
Uban dapat muncul lebih awal di kepala, alis, bulu mata, atau jenggot. - Perubahan Warna Mata
Pigmen di iris mata dapat berkurang, menyebabkan perubahan warna mata. - Gatal pada Area yang Tertentu
Meskipun tidak umum, beberapa pasien mengalami rasa gatal akibat peradangan kulit.
Fenomena Koebner dalam Vitiligo
Sebanyak 20-60 persen pasien vitiligo mengalami fenomena Koebner, di mana lesi vitiligo berkembang di area yang mengalami trauma atau tekanan fisik berulang, seperti goresan, luka bakar, atau gesekan berulang pada kulit.
Pilihan Pengobatan Vitiligo
Saat ini, tidak ada pengobatan yang dapat sepenuhnya menyembuhkan vitiligo. Tetapi, berbagai terapi telah dikembangkan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan merangsang repigmentasi kulit.

- Terapi Farmakologi
- Kortikosteroid Oles
Betamethasone, fluticasone, dan hydrocortisone dapat membantu mengembalikan warna kulit, terutama pada tahap awal vitiligo. Namun, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti penipisan kulit dan stretch mark. - Tacrolimus
Obat ini digunakan untuk vitiligo yang terbatas di area tertentu, seperti wajah atau leher. Efek sampingnya termasuk rasa panas atau perih saat aplikasi.
- Fototerapi
- Terapi UVB
Sinar narrow band ultraviolet B (UVB) digunakan untuk merangsang repigmentasi kulit. Terapi ini dilakukan 2-3 kali per-minggu selama 6-12 bulan. - Psoralen dan UVA (PUVA)
Pasien diberikan obat psoralen sebelum terapi UV untuk meningkatkan sensitivitas kulit terhadap cahaya.
- Prosedur Bedah
- Cangkok Kulit
Area kulit yang terkena vitiligo dapat ditutup dengan kulit sehat dari bagian tubuh lain. - Melanocyte Transplantation
Teknik ini mentransplantasikan melanosit dari kulit sehat ke area yang terkena vitiligo.
- Emerging Therapy
Saat ini, penelitian terus berkembang untuk mencari terapi baru yang lebih efektif, termasuk terapi berbasis imunologi dan terapi sel induk. Namun, terapi ini masih dalam tahap pengujian klinis dan belum digunakan secara luas dalam praktik medis.
Baca juga : Stretch Mark : Penyebab, Pencegahan, dan Penanganannya
Pencegahan dan Manajemen Vitiligo
Meskipun vitiligo tidak dapat sepenuhnya dicegah, beberapa langkah dapat dilakukan untuk mengurangi risiko dan memperlambat perkembangannya.

- Menggunakan tabir surya untuk melindungi kulit dari paparan sinar UV yang berlebihan.
- Menghindari paparan bahan kimia berbahaya, misalnya produk kecantikan yang mengandung bahan pemutih atau pewarna rambut agresif sebaiknya dihindari.
- Menjaga pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan menjaga hidrasi tubuh.
- Mengelola stres yang dapat memperburuk kondisi autoimun, termasuk vitiligo.
Dampak Psikososial dan Dukungan bagi Penderita Vitiligo
Vitiligo tidak menular dan tidak membahayakan nyawa. Tetapi, dampaknya pada kualitas hidup bisa signifikan, terutama bagi penderita yang memiliki bercak di area tubuh yang terlihat seperti wajah.
Stigma sosial dan kurangnya pemahaman masyarakat dapat menyebabkan tekanan psikologis, kecemasan, dan gangguan kepercayaan diri bagi penderitanya.
Dukungan keluarga, teman, serta komunitas sangat penting untuk membantu penderita vitiligo menghadapi tantangan emosional yang muncul. Konsultasi dengan psikolog atau terapis juga dapat membantu mereka mengelola stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!