Jatengkita.id – Di Indonesia, merokok, mengopi, dan minum teh telah menjadi kebiasaan yang begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari. Padahal, kebiasaan tersebut merupakan jejak budaya asing. Aktivitas ini tidak hanya melibatkan aspek sosial, tetapi juga budaya yang terus bertahan hingga kini.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi simbol dari bagaimana interaksi budaya pada masa lalu menciptakan tradisi yang bertahan lintas generasi. Baik di pedesaan maupun perkotaan, aktivitas ini sering menjadi pelengkap interaksi sosial, sarana relaksasi, atau sekadar rutinitas harian.
Layaknya sebuah ritual minuman teh, kopi, dan rokok akan selalu hadir dalam setiap aktivitas bahkan even-even resmi ataupun tidak resmi. Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai lebih dari 60 juta orang.
Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Di sisi lain, data dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) menunjukkan bahwa konsumsi kopi domestik meningkat pesat, dengan rata-rata konsumsi per-kapita mencapai 1.4 kilogram per-tahun.
Sementara itu, teh tetap menjadi minuman favorit, dengan Indonesia mengonsumsi lebih dari 330 ribu ton teh setiap tahunnya. Angka-angka ini menunjukkan bahwa ketiga kebiasaan tersebut sudah mengakar dalam budaya Indonesia. Walupun pada kenyataannya, kebudayaan ini bukanlah kebudayaan khas dari Nusantara.
Sejarah dan Perkembangan
Jejak sejarah menunjukkan bahwa kebiasaan merokok, mengopi, dan meminum teh tidak muncul begitu saja. Pada masa kolonial Belanda, pemerintah kolonial membawa tanaman seperti tembakau, kopi, dan teh ke Indonesia sebagai bagian dari kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel.
Kehadiran kebijakan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengembangkan komoditas yang laku di pasaran global. Tembakau mulai dibawa masuk pada sekitar abad ke-16 di masa pemerintahan Portugis.
Budidaya awal tembakau sendiri mulanya di Ternate. Namun, lambat laun tanaman ini dibudidayakan didaerah lain seperti di pulau Jawa dan Sumatera. Hingga saat ini, tembakau menjadi komoditas utama dari Indonesia yang kualitasnya diakui dunia.
Kopi, terutama jenis Arabika, pertama kali diperkenalkan pada abad ke-17 dan ditanam secara meluas di daerah pegunungan. Untuk komoditas kopi sendiri, mulai dikembangkan secara besar-besaran pasca dikeluarkannya kebijakan Preangerstelsel pada tahun 1720.
Kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang mengatur penanaman dan penyetoran komoditas kopi kepada pemerintahan VOC. Teh juga diperkenalkan pada periode yang sama dan berkembang pesat, terutama di Jawa Barat.
Sistem tanam paksa dan monopoli komoditas ini tidak hanya menguntungkan pihak kolonial, tetapi juga membentuk pola konsumsi masyarakat lokal. Di banyak tempat, hasil-hasil bumi tersebut akhirnya diadopsi sebagai bagian dari budaya setempat.
Asal-Usul Kebiasaan
Merokok, mengopi, dan meminum teh sebenarnya bukan tradisi asli Indonesia. Tembakau berasal dari Amerika Selatan dan diperkenalkan oleh bangsa Eropa yang mengolonisasi Indonesia. Kebiasaan merokok sendiri merupakan jejak budaya asing dari Suku Indian di Amerika yang kemudian menjalar ke Eropa.
Sementara itu, kopi berasal dari kawasan Ethiopia dan mulai diperkenalkan ke Nusantara oleh Belanda untuk memenuhi permintaan pasar Eropa. Kebiasaan meminum kopi sendiri berasal dari Suku Arab yang kemudian menjalar ke belahan dunia lain termasuk Eropa.
Adapun teh, berasal dari Tiongkok dan India, kemudian dibawa ke Indonesia oleh pemerintah kolonial untuk dikembangkan sebagai komoditas perdagangan. Budaya meminum teh sendiri pada mulanya merupakan budaya asli orang Tiongkok.
Namun, lambat laun budaya meminum teh ini sering berakulturasi dengan budaya-budaya negara lain sehingga memunculkan budaya baru. Budaya meminum teh dari Jepang serta budaya perjamuan teh dari Inggris menjadi dua bukti dari akulturasi yang ada.
Akulturasi dan Pengaruh Kolonial
Keberadaan kebiasaan-kebiasaan ini di Indonesia tidak lepas dari proses akulturasi budaya. Sebagai pusat perdagangan internasional pada masa lampau, Nusantara menjadi persinggahan banyak bangsa, termasuk Arab, India, Tiongkok, dan Eropa.
Pertukaran budaya ini membawa berbagai kebiasaan baru, termasuk konsumsi tembakau, kopi, dan teh. Pengaruh kolonial sangat signifikan, terutama dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan komoditas-komoditas ini.
Kolonial Belanda, misalnya, tidak hanya memperkenalkan tanaman-tanaman tersebut, tetapi juga membangun infrastruktur seperti perkebunan dan pabrik pengolahan, serta menciptakan sistem distribusi yang memungkinkan masyarakat lokal mengakses produk-produk tersebut dengan mudah.
Dengan demikian, konsumsi kopi, teh, dan tembakau menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang terus bertahan hingga kini.
Kebiasaan Lain yang Berakar dari Luar
Selain merokok, mengopi, dan meminum teh, ada kebiasaan lain yang juga berakar dari luar, seperti makan menggunakan garpu dan pisau, menikmati roti sebagai sarapan, atau meminum bir. Semua ini mencerminkan pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui perdagangan, kolonialisme, dan globalisasi.
Budaya lokal yang adaptif memungkinkan kebiasaan-kebiasaan ini diterima dan dikombinasikan dengan tradisi setempat. Misalnya, kopi yang awalnya diseduh sederhana kini diolah menjadi beragam varian seperti kopi tubruk dan kopi susu, yang khas Indonesia.
Menguatkan Identitas Lokal di Tengah Globalisasi
Meskipun berasal dari luar, kebiasaan-kebiasaan ini telah menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia. Proses adaptasi lokal menciptakan cita rasa dan tradisi yang unik, seperti budaya minum teh di Solo dan Yogyakarta yang dipadukan dengan suguhan makanan tradisional, atau kebiasaan ngopi pagi di warung kopi kampung.
Ataupun di kawasan Temanggung dan Wonosobo di mana masyarakat di sana merokok dengan cara tradisional yaitu melinting dengan tangan. Di era globalisasi ini, mempertahankan identitas lokal di tengah serbuan tren global menjadi tantangan tersendiri.
Upaya untuk menghargai sejarah dan memahami akar budaya dari kebiasaan-kebiasaan ini dapat membantu memperkuat jati diri bangsa. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak hanya mewarisi kebiasaan-kebiasaan ini, tetapi juga memberi sentuhan unik yang membuatnya berbeda.
Dalam setiap cangkir kopi, teh, atau rokok yang dinikmati, terdapat kisah panjang yang menyatukan masa lalu dengan masa kini. Kisah ini mengingatkan kita bahwa budaya adalah perjalanan tanpa henti. Ia adalah sebuah perpaduan dari berbagai pengaruh yang kemudian menjadi milik kita sendiri.
Mari terus menjaga warisan ini, seraya membuka diri untuk terus belajar dari sejarah yang telah membentuk kita.
Tonton video : Teh Tarik Pa’Ngah – Kulineran Semarang