Jatengkita.id – Suku Jawa, yang merupakan kelompok etnis terbesar di Indonesia, memiliki keunikan tersendiri dalam hal penamaan, yakni tidak menggunakan marga atau nama keluarga seperti yang umum dijumpai pada suku-suku lain di Nusantara.
Ciri khas ini menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama dalam kaitannya dengan sejarah panjang masyarakat Jawa, struktur sosial yang berkembang di dalamnya, serta nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ketidakhadiran marga dalam tradisi penamaan orang Jawa mencerminkan aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial mereka. Hal ini menyangkut sistem kekerabatan, pengaruh kerajaan-kerajaan masa lalu, hingga filosofi hidup yang dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Kondisi tersebut membuka ruang bagi diskusi mengenai bagaimana faktor-faktor historis dan budaya membentuk kebiasaan penamaan yang tetap bertahan hingga kini.
Marga dan Stratifikasi Sosial Jawa
Di Jawa, penggunaan marga memiliki keterkaitan yang erat dengan sistem stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dulu, marga umumnya hanya digunakan oleh kaum ningrat atau keluarga yang berasal dari lingkungan kerajaan (Keraton).
Keberadaan marga ini berperan sebagai penanda identitas yang membedakan mereka dari rakyat biasa. Selain itu juga berfungsi sebagai pengingat bagi pemilik marga untuk senantiasa menjalankan kode etik dan aturan ketat yang berlaku di lingkungan keraton.
Beberapa contoh marga yang sering dijumpai di kalangan Bangsawan Jawa antara lain Suryonegoro, Hadinegoro, dan Kusumodiharjo. Oleh karena itu, masyarakat dari kalangan non-bangsawan di Jawa tidak merasa perlu mencantumkan marga dalam nama mereka.
Hal ini karena mereka tidak memiliki tanggung jawab atau kewajiban yang sama seperti keluarga kerajaan.
Faktor Histori pada Masa Penjajahan
Sejarah memiliki dampak besar pada peniadaan nama marga dalam masyarakat Jawa. Pada masa penjajahan, penggunaan nama keluarga atau marga lebih sering ditemukan di kalangan individu yang memiliki kekayaan atau status sosial tinggi. Sebut saja para tuan tanah dan politisi.
Bagi mereka, memiliki nama keluarga sangatlah penting, terutama untuk keperluan administratif, seperti pengelolaan aset, pencatatan kepemilikan tanah, serta pembagian warisan.
Sebaliknya, bagi masyarakat Jawa yang berasal dari golongan pekerja atau buruh dan tidak memiliki aset berharga. Penggunaan marga dianggap tidak memiliki manfaat yang signifikan.
Oleh karena itu, kebiasaan memakai nama keluarga tidak berkembang di kalangan mereka, sehingga marga menjadi sesuatu yang kurang relevan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa pada masa itu.

Anda mungkin suka : Mengulik Sejarah Getuk dan Simbol Kesederhanaannya
Kesederhanaan dan Praktikalitas dalam Penamaan
Masyarakat Jawa memiliki tradisi unik dalam pemberian nama, yang cenderung sederhana dan singkat. Kebiasaan ini bertujuan agar nama mudah diingat, terutama dalam berbagai upacara adat seperti selamatan.
Selain alasan praktis, ada pula kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa mengenai konsep kabotan jeneng atau keberatan nama.
Mereka meyakini bahwa jika seseorang memiliki nama yang terlalu panjang atau memiliki makna yang terlalu mendalam, hal itu bisa menjadi beban dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, banyak orang Jawa memilih nama yang lebih ringkas dan ringan, sesuai dengan tradisi serta kepercayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Penelitian Antropologis dan Perspektif Lokal
Pada tahun 1960-an, antropolog Clifford Geertz melakukan penelitian di Jawa Timur. Ia mengidentifikasi tiga kelompok sosial utama dalam masyarakat Jawa, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Setiap kelompok memiliki karakteristik tersendiri dalam hal penamaan.
Berdasarkan temuannya, Geertz mencatat bahwa sebagian besar masyarakat Jawa pada masa itu tidak menggunakan nama keluarga, kecuali mereka yang berasal dari golongan priyayi atau kaum ningrat.
Kelompok abangan cenderung menamai anak-anak mereka berdasarkan weton, yaitu hari kelahiran menurut sistem kalender Jawa. Sementara itu, kelompok priyayi atau mereka yang berasal dari kalangan terpelajar lebih banyak memilih nama-nama yang mengandung unsur bahasa Sansekerta.
Adaptasi di Era Modern
Hingga kini, masyarakat Jawa masih mempertahankan kebiasaan menamai anak-anak mereka tanpa menggunakan marga, meskipun perubahan dalam kondisi ekonomi dan status sosial telah berbeda.
Dahulu, masyarakat Jawa tidak terlalu mempermasalahkan urusan nama, karena nama bukanlah sesuatu yang bersifat tetap. Jika situasi mengharuskan, nama seseorang dapat diubah atau diganti sesuai kebutuhan.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!