Tempe, Kuliner Khas Jateng dari Abad 16 Menuju UNESCO

Tempe, Kuliner Khas Jateng dari Abad 16 Menuju UNESCO
(Gambar : istockphoto.com)

Jatengkita.id – Tempe merupakan makanan fermentasi tradisional Indonesia yang terbuat dari kedelai. Kuliner ini telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Nusantara.

Lebih dari sekadar sumber protein nabati yang terjangkau, tempe memiliki nilai sejarah, sosial, dan ekonomi yang menjadikannya layak dipertimbangkan sebagai warisan budaya tak benda.

Keunikan tempe sebagai warisan tak benda terletak pada beberapa faktor. Selain kaya gizi dan mengandung vitamin B13 yang jarang ditemukan dalam produk nabati, tempe juga memiliki sejarah panjang sejak era Jawa Kuno, sebagaimana tercatat dalam Serat Centhini.

Proses pembuatannya yang tradisional mencerminkan nilai kebersamaan. Selain itu, fleksibilitas dalam penggunaan bahan bakunya tidak hanya kedelai, tetapi juga dari berbagai jenis kacang lainnya, menunjukkan adaptasi dan inovasi dalam pemanfaatan sumber daya lokal. 

Sejarah dan Filosofi Tempe

Sejarah tempe muncul di tanah Jawa Tengah pada abad ke-16. Istilah “tempe” diyakini berasal dari bahasa Jawa Kuno, yakni “tumpi”, yang merujuk pada makanan berwarna putih. Pada awalnya, tempe dibuat dari kedelai hitam dan keberadaannya tercatat dalam Serat Centhini.

Karya tersebut menghimpun legenda, tradisi, dan ajaran-ajaran luhur masyarakat Jawa pada abad ke-17. Dalam Serat Centhini, disebutkan bahwa Pangeran Bayat menyajikan hidangan kepada Mas Cebolang yang mencakup Brambang Jae Santen Tempe.

Tempe muncul dalam Serat Centhini
(Gambar : buddhazine.com)

Proses pembuatan tempe yang menghasilkan tekstur dan rasa khas dilakukan melalui fermentasi kedelai dengan bantuan Rhizopus sp. Jamur ini sejenis kapang yang mampu mengubah struktur protein dan karbohidrat dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna.

Teknologi pengolahan tempe merupakan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Inti dari proses ini adalah menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan jamur Rhizopus sp.

Proses ini mengatur suhu, kelembapan, dan kebersihan lingkungan agar jamur dapat tumbuh subur dan menghasilkan enzim yang dibutuhkan untuk memecah komponen-komponen dalam kedelai.

Fermentasi yang dikontrol dengan baik menghasilkan tempe dengan tekstur yang khas, aroma yang unik, serta nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai mentah. 

Lebih dari sekadar makanan bergizi, tempe juga menyimpan nilai-nilai budaya. Proses pembuatannya secara tradisional sering melibatkan seluruh anggota keluarga yang mencerminkan semangat keharmonisan dan kebersamaan.

Selain itu, tempe telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam berbagai upacara adat dan perayaan penting. Hal ini menunjukkan bahwa tempe bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol keberuntungan, kemakmuran, dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Upaya Pelestarian dan Pengajuan ke UNESCO

(Gambar : peluangnews.id)

Upaya pelestarian tempe melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat. Tujuannya untuk mempertahankan warisan budaya dan meningkatkan kesadaran akan manfaat tempe.

Salah satu langkah strategis yang telah dilakukan adalah mengajukan tempe sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO yang telah diusulkan oleh Komunitas melalui Kemdikbudristek kepada Sekretariat UNESCO pada akhir Maret 2024.

Forum Tempe Indonesia (FTI) merupakan salah satu tim inisiator yang aktif menggalang dukungan masyarakat untuk menjaga kelestariaan tempe. Salah satu upayanya adalah mendaftarkan tempe Jawa Tengah sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2017.

Selain itu, para pemangku kepentingan telah menyepakati 6 Juni sebagai Hari Tempe Nasional, meskipun belum diresmikan secara formal oleh pemerintah. Pada tahun 2024, Perayaan Hari Tempe Nasional sendiri dipusatkan di Sentra Industri Kecil Somber (SIKS) di Balikpapan

Semarang Jadi Daerah Terkenal Penghasil Tempe

(Gambar : istockphoto.com)

Kelurahan Padangsari di Kecamatan Banyumanik memiliki kampung pengrajin tempe yang memproduksi tempe bungkus daun pisang secara tradisional.

Tempe dari daerah ini terkenal dengan cita rasanya yang gurih dan alami. Produksinya telah berlangsung selama puluhan tahun dan menjadi bagian dari identitas kuliner Kota Semarang.

Baca juga : Tempe : Warisan Kuliner Nusantara yang Mendunia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *