Jatengkita.id – Sebelum kelulusan, setiap mahasiswa akan dihadapkan pada ujian akhir skripsi. Proyek ini bertujuan untuk menilai kelayakan pada setiap mahasiswanya dalam menghadapi kelulusan yang tentu akan sangat membanggakan bagi diri dan orang terdekat.
Namun, di tengah tuntutan akademis yang seabrek, mental para mahasiswanya dipertanyakan, “Apakah kita bisa survive dalam keadaan ini?”. Mahasiswa skripsi akrab dengan pola makan tidak teratur, begadang tak kenal waktu, sampai dompet yang makin menipis.
Dari dua sudut pandang ini, kira-kira mana yang lebih penting : mental health atau skripsi?
Tantangan Skripsi dan Kesehatan Mental
Skripsi bukan sekadar tugas akhir, melainkan sebuah awal perjalanan menuju kehidupan yang ralistis. Proyek ini dimulai dengan menentukan topik penelitian, pembuatan bagian-bagian lainnya, hingga revisi pasca-ujian.
Belum lagi tekanan yang diberikan oleh dosen pembimbing hingga kasus permintaan ganti topik di pertengahan proses menyusun skripsi. Hal ini selalu saja membuat para mahasiswa akhir merasa tertekan, stres, cemas, burnout, akibat tekanan yang luar biasa melelahkan. Parahnya sampai ada yang su*c*d*.
Karena itu, skripsi bisa membuat orang ekstrovert menjadi introvert seketika. Menurut berbagai penelitian yang ada, mahasiswa tingkat akhir cenderung memiliki tingkat stres yang meningkat secara signifikan dalam penyusunan skripsi.

Hal ini didasari atas ketakutan dan kegagalan mereka karena tidak dapat memenuhi ekspektasi keluarga atau orang-orang tersayang lainnya. Belum lagi tuntutan untuk segera lulus dari pihak kampus, maupun dari pihak keluarga yang terkadang kurang bisa mengerti bagaimana perasaan mahasiswa yang ada.
Fenomena Mahasiswa Mengabaikan Kesehatan Mental
Sering kali, mahasiswa tingkat akhir berpikir bahwa menyelesaikan skripsi merupakan sebuah prioritas yang paling utama. Mereka tidak berpikir panjang tentang keadaan fisik dan psikis. Mahasiswa rela begadang tanpa istirahat. Ditambah diliputi resah, cemas, dan gelisah demi menyelesaikan target.
Padahal, tanpa kita sadari, kesehatan mental juga tidak kalah pentingnya dengan skripsi. Saat kesehatan mental kita buruk, justru produktivitas dalam diri akan semakin menurun. Pun kualitas pengerjaan skripsi juga ikut menurun.
Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang benar-benar mampu meng-handle kesehatan mentalnya dengan baik, bahkan terkadang dengan sengaja beristirahat sejenak demi menjaga mentalnya. Sayangnya, sering kali banyak yang menganggap keputusan ini sebagai keputusan yang buruk.
Mereka dipandang seolah “menunda” kelulusan, atau pemalas, atau juga tidak memiliki motivasi dalam menyelesaikan studi. Karena stigma ini, mahasiswa cenderung enggan untuk membagikan masalah kesehatan mental yang sedang dialami.
Baca juga : Asyiknya Scribble Journaling untuk Ekspresikan Diri
Menemukan Keseimbangan : Skripsi dan Kesehatan Mental
Daripada harus memilih antara kesehatan mental atau skripsi, alangkah lebih baik jika mahasiswa dapat menjalankan keduanya demi memperoleh keseimbangan hidup. Jika keseimbangan hidup baik, maka produktivitas sekaligus mutu pada skripsi yang dihasilkan tentu akan jauh lebih baik.
Untuk bisa mencapai keseimbangan hidup yang baik, simak tips berikut ini yang bisa berdampak pada kualitas skripsi.

- Manajemen Waktu yang Baik
Menyusun jadwal yang mampu menyeimbangkan antara istirahat dan mengerjakan skripsi yang realistis, bisa membuat mahasiswa memiliki kualitas hidup dan produktivitas yang baik.
2. Menerapkan Self-Care
Melakukan olahraga, istirahat yang cukup, dan melakukan kegiatan yang disukai. Mahasiswa bisa mencoba makanan terbaru, rekreasi ke tempat favorit, dan intensif pada hobi, atau hal lainnya yang menurut diri menyenangkan dan mampu mengurangi stres yang berlebih.
3. Mencari Dukungan
Mencoba berdiskusi mengenai permasalahan yang sedang dialami dengan orang-orang terdekat mampu mengurangi stres. Mahasiswa juga bisa menemukan solusi dari permasalahan yang ada dan mendapat dukungan dan motivasi.
4. Mengubah Mindset
Para mahasiswa bisa menganggap bahwa skripsi adalah proses belajar untuk meneliti sesuatu, bukan sekadar beban yang harus diselesaikan dengan segera. Pola pikir seperti ini akan membantu mahasiswa setelah lulus dan memasuki dunia pasca-kampus.
5. Menghindari Perfeksionisme Berlebih
Tetap kerjakan skripsi dengan semestinya, tanpa perlu menghakimi diri. Cukup selesaikan apa yang ada tanpa perlu mengecek setiap saat. Jalani dengan santai dan pahami bahwa setiap pembelajaran memiliki proses dan tantangannya sendiri.
Skripsi dan kesehatan merupakan kedua elemen yang saling berkaitan satu sama lain tanpa harus diadu satu sama lain. Dalam hal ini, mahasiswa sangat menyadari bahwa menjaga kesehatan mental adalah investasi diri di masa yang akan datang.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnnya!