Jatengkita.id – Tempe Alakatak merupakan salah satu kekayaan rasa yang patut diangkat karena merupakan kudapan tradisional khas Weru, Sukoharjo. Di tengah gempuran makanan instan dan modern, kuliner ini hadir sebagai pengingat bahwa cita rasa otentik Indonesia tidak pernah kehilangan pesona.
Tempe alakatak bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kearifan lokal, wujud kreativitas masyarakat pedesaan dalam mengolah hasil bumi menjadi sajian yang lezat, bergizi, dan penuh makna.
Artikel ini akan mengulas secara lengkap tentang tempe alakatak mulai dari sejarah hingga tantangan pelestarian kuliner ini di tengah zaman yang kian berubah.
Sejarah dan Asal Usul Tempe Alakatak
Tempe alakatak juga dikenal sebagai tempe kuning. Nama “alakatak” sendiri tidak memiliki arti pasti, namun diduga berasal dari istilah lokal yang merujuk pada tampilan makanan ini yang tampak ‘acak-acakan’ atau tercampur antara tempe dan mi, namun tetap tersusun rapi dalam balutan daun jati.
Makanan ini sudah dikenal masyarakat Weru sejak puluhan tahun silam, bahkan diperkirakan sudah ada sejak era sebelum kemerdekaan. Keberadaannya erat kaitannya dengan keterbatasan bahan pangan pada masa lalu.
Masyarakat kemudian berkreasi memanfaatkan bahan lokal seperti kacang benguk dan singkong untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Inilah cikal bakal terciptanya kudapan istimewa ini.
Seputar Sukoharjo : Filosofi Tari Kebo Kinul yang Memikat Hati
Mengandalkan Kacang Benguk dan Tepung Singkong
Keunikan utama sajian khas ini terletak pada bahan dasarnya. Jika pada umumnya tempe dibuat dari kedelai, maka Tempe Alakatak menggunakan kacang benguk atau dalam bahasa Jawa disebut koro benguk.
Kacang ini memiliki kandungan protein tinggi, rasa yang khas, serta ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem. Sayangnya, tanaman ini kini mulai jarang dibudidayakan.
Selain tempe benguk, bahan lainnya yang tak kalah penting adalah mi singkong. Mi ini dibuat dari tepung singkong yang diolah menjadi adonan, lalu dipipihkan dan dirajang memanjang.
Untuk memberikan variasi warna, digunakan kunyit sebagai pewarna alami untuk menghasilkan mi kuning, sementara versi putih dibiarkan tanpa pewarna. Mi singkong ini bertekstur lembut, kenyal, dan memiliki rasa gurih yang unik.

Keistimewaan Rasa
Perpaduan antara gurihnya tempe benguk yang dicampur kelapa parut dan bumbu tradisional menciptakan sensasi unik. Mi singkong menambah tekstur kenyal yang khas, berpadu harmonis dengan kelembutan tempe dan wangi alami daun jati.
Tak heran jika makanan ini sangat dirindukan oleh para perantau dari Weru, terutama saat Lebaran tiba. Salah satu ciri khas yang melekat dalam penyajian Tempe Alakatak adalah kehadiran kerupuk kelir.
Kerupuk ini dinamakan sesuai dengan tempat produksinya, yakni desa Watu Kelir di Weru. Kerupuk kelir biasanya berwarna putih dan memiliki tekstur ringan serta rasa gurih yang khas.
Ketika ketua bahan ini dimakan bersama, kerupuk kelir memberikan sensasi kriuk yang menyempurnakan setiap suapan. Kombinasi ini begitu populer hingga menjadi ikon kuliner lokal yang tak boleh dilewatkan.
Pasar Tradisional sebagai Lokasi Distribusi
Tempe Alakatak tidak dijual secara massal atau tersedia di swalayan. Makanan ini hanya bisa ditemukan di pasar tradisional di Kecamatan Weru, khususnya saat hari-hari pasaran seperti Kliwon, Pahing, Wage, Pon, dan Legi.
Harga satu pincuk tempe ini sangat terjangkau, hanya sekitar seribu hingga dua ribu rupiah per bungkus. Namun, karena jumlah penjual terbatas dan peminatnya tinggi, makanan ini sering kali habis sejak pagi hari.
Ancaman Penurunan Produksi
Seiring dengan modernisasi dan perubahan gaya hidup masyarakat, Tempe Alakatak kini termasuk dalam kategori makanan langka. Penjualnya semakin sedikit, sebagian besar sudah lanjut usia, dan belum banyak generasi muda yang meneruskan keahlian membuat makanan ini.
Faktor tersebut juga ditambah dengan bahan baku pembuatnya yang tidak lagi banyak ditanam serta gempuran makanan modern. Padahal, selain lezat, tempe alakatak menyimpan nilai historis dan potensi ekonomi lokal yang luar biasa.
Upaya Pelestarian dan Revitalisasi Kuliner Tradisional
Agar kuliner khas ini tidak hilang ditelan zaman, diperlukan berbagai langkah strategis untuk melestarikannya. Perlu adanya integrasi pengenalan makanan tradisional ke dalam kurikulum sekolah atau melalui kegiatan ekstrakurikuler agar anak-anak muda mengenal dan mencintai kuliner lokal.
Bisa juga dengan mengadakan pelatihan pembuatan tempe alakatak bagi ibu rumah tangga, kelompok pemuda desa, hingga UMKM agar keahlian membuat makanan ini tidak punah.
Pemerintah daerah bisa mengadakan festival kuliner khas Weru atau Sukoharjo secara rutin dan menjadikan Tempe Alakatak sebagai salah satu ikon utamanya.
Promosi Tempe Alakatak melalui media sosial, website pariwisata, dan platform digital lain juga perlu dilakukan untuk menarik minat wisatawan dan pembeli luar daerah.
Langkah seperti mengemas tempe alakatak dalam bentuk frozen food juga bisa dilakukan. Hal ini bertujuan untuk bisa dipasarkan di luar Sukoharjo, sambil tetap mempertahankan balutan daun jati sebagai ciri khas.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!