Jatengkita.id – Jika seseorang bertanya mengenai sebuah pulau terpencil yang sangat menyeramkan, maka sebagian besar dari kita akan menjawab : Pulau Nusakambangan.
Beberapa pernyataan seperti “penjara yang terisolir dari dunia luar”, “penjara dengan tingkat keamanan tinggi”, “napi dengan kasus berat”, “pulau yang dikelilingi oleh hewan buas”, serta “tempat eksekusi mati”, merupakan gambaran umum yang dilekatkan masyarakat dalam mendeskripsikan pulau ini.
Pernyataan-pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Memori kolektif kita seakan sudah disetel untuk mengasosiasikan Nusakambangan dengan kesan kelam dan penuh ketakutan.
Tayangan berita, literatur populer, bahkan film dokumenter, lebih banyak menonjolkan sisi “seram” daripada menyajikan gambaran yang utuh.
Hal ini membuktikan bahwa pemahaman sejarah mampu membentuk persepsi publik terhadap suatu tempat, tak peduli seindah atau sekaya apa pun latar belakang lainnya.
Namun, apakah benar Nusakambangan hanya sebatas “pulau penjara”? Ataukah kita terlalu terjebak pada satu narasi semata, hingga menutup kemungkinan untuk melihat sisi-sisi lain yang sebenarnya juga penting dan tak kalah menarik?
Letak dan Kondisi Geografis Pulau Nusakambangan
Pulau Nusakambangan terletak di sebelah selatan Pulau Jawa. Secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Pulau ini dipisahkan dari daratan utama oleh sebuah laguna yang dikenal sebagai Segara Anakan.
Di sisi utara, perairan yang tenang membuat daerah ini cocok untuk akses penyeberangan dari Pelabuhan Wijayapura. Sementara di sisi selatan, tebing-tebing curam dan deburan ombak Samudra Hindia menciptakan pemandangan dramatis sekaligus eksotis.
Luas pulau ini sekitar 210 km², terdiri dari hutan hujan tropis yang masih relatif alami dan kontur berbukit dengan struktur karst. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar wilayahnya sulit dijangkau tanpa akses resmi.
Akses menuju Nusakambangan sangat terbatas. Masyarakat umum tidak bisa bebas masuk karena statusnya sebagai kawasan tertutup milik negara. Satu-satunya jalur resmi adalah melalui Pelabuhan Wijayapura.
Pelabuhan ini merupakan tempat kapal milik Lapas menyeberangkan petugas, keluarga narapidana, atau logistik yang telah mendapat izin khusus. Waktu tempuhnya memang hanya sekitar 10 menit, namun pengamanannya sangat ketat.
Secara iklim, Nusakambangan beriklim tropis basah, dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun dan suhu rata-rata antara 23–32 derajat celsius.
Kondisi ini mendukung kelestarian flora dan fauna di dalamnya, termasuk spesies langka seperti mentawai (Shorea leprosula) dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). Dengan vegetasi hutan yang masih lebat, pulau ini menjadi kantong keanekaragaman hayati yang unik di pesisir selatan Jawa.
Baca juga : Mengenal Kilang Minyak Cilacap, Terbesar di Indonesia
Sejarah Singkat Penjara Nusakambangan
Sisi kelam Nusakambangan tak lepas dari sejarah pendirian penjaranya. Penjara pertama dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 di kawasan Permisan, yang saat itu digunakan untuk memindahkan para tahanan politik dari luar Jawa.
Seiring waktu, fungsi pulau ini diperluas menjadi tempat penahanan para narapidana berisiko tinggi. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan tetap dipertahankan dan bahkan ditambah.
Saat ini terdapat sembilan lapas, termasuk Lapas Batu, Lapas Besi, Lapas Kembangkuning, dan Lapas Pasir Putih, yang semuanya memiliki klasifikasi keamanan tinggi.
Nusakambangan juga dikenal luas karena menjadi lokasi eksekusi mati, terutama bagi narapidana kasus narkotika dan terorisme. Inilah salah satu sebab mengapa pulau ini semakin melekat dalam benak masyarakat sebagai “pulau kematian” atau “pulau hukuman.”
Namun sayangnya, penekanan yang terus-menerus pada aspek kriminalitas dan eksekusi ini menutup ruang bagi pembacaan sejarah yang lebih utuh.
Kita lupa bahwa sebelum menjadi penjara, Nusakambangan adalah tempat yang disakralkan dan dijaga kealamiannya oleh Belanda, bahkan pernah dinobatkan sebagai kawasan monumen alam karena kekayaan hayatinya.

Nusakambangan dari Sudut Pandang Lain
Hingga hari ini, Nusakambangan menyimpan keindahan alam yang sangat menakjubkan, sesuatu yang jarang dibicarakan publik secara luas.
Hutan tropis yang lebat, goa-goa alami yang eksotis, pantai berpasir putih, serta keberadaan situs sejarah peninggalan Belanda adalah kekayaan yang patut diapresiasi.
Sebut saja Pantai Permisan, yang selain memiliki panorama laut lepas yang memesona, juga menjadi saksi sejarah berdirinya penjara pertama.
Ada pula Pantai Kalipat, Pantai Rancababakan, dan Pantai Karang Tengah, yang jika dibandingkan dengan pantai-pantai populer di selatan Yogyakarta, tidak kalah dalam hal pemandangan. Keberadaan Gua Ratu, Gua Kantil, serta Gua Wireng bahkan memiliki nilai spiritual dan mitologis dalam budaya lokal.
Di sisi sejarah, beberapa benteng peninggalan kolonial seperti Benteng Karang Bolong, Benteng Pendem, dan Benteng Kalimutuk, adalah jejak militer Belanda dalam mengawasi wilayah selatan Jawa.
Sayangnya, keberadaan situs-situs ini masih terabaikan dan belum sepenuhnya dikembangkan sebagai destinasi sejarah.
Pulau ini sebenarnya memiliki potensi ekowisata dan wisata sejarah yang luar biasa. Namun, kekayaan ini seolah tertutup oleh bayang-bayang penjara. Narasi dominan yang mengaitkan Nusakambangan dengan tempat gelap dan menyeramkan telah mengalahkan daya tarik lainnya.
Tidak mengherankan jika generasi muda pun tak mengenal Nusakambangan kecuali dari berita eksekusi mati atau kriminal berat.
Mengapa Label “Pulau Penjara” Begitu Melekat?
Label “pulau penjara” yang melekat pada Nusakambangan tidak muncul tiba-tiba. Ada berbagai faktor yang membuat narasi tersebut begitu kuat.
- Media massa selama bertahun-tahun lebih sering memberitakan kasus kriminal besar dan pelaksanaan hukuman mati, dengan latar tempat Nusakambangan.
- Keterbatasan akses publik membuat masyarakat tak punya ruang untuk mengenal pulau ini lebih dalam.
- Kebijakan keamanan tinggi menempatkan Nusakambangan sebagai kawasan tertutup, bukan kawasan edukatif atau konservatif.
- Kurangnya eksplorasi budaya dan ekowisata oleh pemerintah maupun masyarakat sipil, menyebabkan potensi wisata dan sejarahnya tidak terdokumentasi dengan baik.
- Ingatan kolektif yang terbangun secara sepihak—bahkan dalam buku pelajaran sekolah, Nusakambangan lebih dikenal sebagai tempat eksekusi ketimbang sebagai bagian dari lanskap ekologis dan sejarah Jawa Tengah.
Label ini bisa jadi telah mengakar, namun bukan berarti tidak bisa dibongkar. Butuh keberanian untuk menghadirkan narasi baru, melihat Nusakambangan dengan cara berbeda, dan menyadari bahwa pulau ini lebih dari sekadar bui raksasa.
Menggugat Ingatan Kolektif yang Tak Lengkap
Pulau Nusakambangan adalah cerminan ironi sejarah : ia indah, namun dikenal menyeramkan, ia kaya potensi, namun tertutup stigma. Label “penjara” memang benar adanya, tetapi ia bukan satu-satunya identitas pulau ini.
Sejarah telah membentuk cara pandang kita. Namun sejarah yang disampaikan secara sepihak hanya akan menumbuhkan ingatan yang timpang. Kita harus mulai belajar melihat sejarah secara utuh, menyeluruh, dan adil terhadap semua sisi, bukan hanya sisi gelapnya.
Keprihatinan terhadap citra tunggal Nusakambangan ini perlu dibarengi dengan gerakan kecil untuk membuka mata publik terhadap pesona dan nilai lainnya.
Pemerintah bisa mulai mengembangkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wisata terbatas, akademisi bisa meneliti keanekaragaman hayati pulau ini, dan media bisa menampilkan narasi yang lebih berimbang.
Akhirnya, Pulau Nusakambangan bukan hanya tempat menjalani hukuman, tetapi juga ruang yang menyimpan warisan alam dan sejarah yang penting bagi bangsa ini.
Dengan cara pandang yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa pulau yang selama ini kita anggap menyeramkan, sebenarnya adalah pulau indah yang tak sepatutnya terkubur dalam label kelam semata.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!






