Menarik! 5 Anime Populer Ini Kritik Sistem Pendidikan

Menarik! 5 Anime Populer Ini Kritik Sistem Pendidikan
Classroom of the Elite (Gambar: neverthinkimpossible.com)

Jatengkita.id – Di balik warna-warni keseharian dan ekspresi para karakternya, banyak anime yang ternyata punya kritik soal dunia pendidikan. Gak percaya? Nih, beberapa anime populer yang terang-terangan (atau diam-diam) nyentil sistem pendidikan yang absurd, toksik, dan kadang malah bikin siswa merasa jadi mesin pencetak nilai. Yuk, kita kupas satu-satu.

  1. Assassination Classroom (Ansatsu Kyoushitsu)
(Gambar: japanesestation.com)

Masih ingat anime yang populer tahun 2015-2016 ini? Atau kalau belum pernah nonton, pasti minimal pernah lihat muka bulatnya Koro-sensei si makhluk mutan yang mirip gurita.

Cerita berfokus pada kelas 3-E SMP Kunugigaoka. Itu adalah SMP bergengsi yang terkenal punya banyak murid pintar. Untuk mencapai prestasi terbaik, sekolah membangun atmosfer belajar yang over-kompetitif, sampai jatuhnya malah toksik.

Di sekolah ini, murid yang prestasinya buruk bakal masuk kelas E, kelas khusus untuk anak-anak yang dianggap bodoh dan bermasalah.

Bukan cuma dipisahkan dari gedung utama, ruang kelas ini ditempatkan di atas gunung, terpencil dari kota, dengan fasilitas ampas yang berbanding terbalik dengan kemewahan gedung utama.

Klaimnya sih supaya murid-murid kelas E lebih fokus belajar, tapi memangnya bisa fokus belajar kalau jalannya sulit ditempuh, kamar mandinya rusak, kipas anginnya mati? Bukannya malah semakin susah belajar?

Para murid kelas E pun menjadi bahan perundungan dan diskriminasi, dengan dalih supaya murid kelas lain termotivasi dan semangat belajar. Bukan cuma dianak tirikan, kelas E menjadi anak buangan yang seolah adalah aib seantero sekolah.

Pesannya kayak, “Lu masuk kelas E berarti lu bodoh, bermasalah, gak layak idup, masa depan suram, layak dicaci maki. Makanya belajar yang bener biar gak masuk kelas E.”

Meski di season 2 kita diperlihatkan latar belakang si kepsek dalam menciptakan sistem belajar yang gila ini, apakah menginjak-injak para murid di satu kelas adalah cara yang benar buat membangkitkan semangat kelas lain?

Padahal, setiap anak punya kemampuan akademis yang berbeda. Anak-anak kelas E pun bukannya bodoh, cuma prestasi akademiknya nggak sebaik kelas lain.

Ini menjadi cerminan dari kejadian di dunia nyata di mana murid dengan prestasi yang memuaskan sering jadi anak emas, sementara murid yang kurang pintar dimarahi para guru dan jadi ejekan murid lain.

  1. Classroom of the Elite (Youkoso Jitsuryoku Shijou Shugi no Kyoushitsu e)
anime populer
(Gambar: gamefinity.id)

Kalau di dunia nyata, ada istilah “punya uang punya kuasa”. Di sekolah ini, istilahnya “punya poin punya kuasa”. Inilah sekolah yang memberlakukan sistem poin dalam seluruh kegiatannya.

Poin ini utamanya didapat dari hasil prestasi masing-masing siswa, mirip sistem gaji pekerja. Semakin bagus prestasi seorang siswa, semakin banyak poinnya. Kerennya, poin ini bisa juga digunakan sebagai alat transaksi layaknya uang. Bisa beli makanan, pakaian, informasi, nilai, loyalitas—tinggal sebut aja!

Agak mirip Ansatsu Kyoushitsu, sekolah di anime ini menerapkan sistem kelas unggulan dan kelas buangan. Bedanya, para siswa di sini punya kesempatan buat mengubah kasta kelas mereka asal punya cukup poin.

Maka, terjadilah persaingan tidak sehat antar para murid, dan sekolah pun jadi miniatur masyarakat kapitalis. “Hidup ini adalah tentang poin. Terserah murid lain patah tangan, cacat, dibully, di-DO. Yang penting poinku banyak!”

Para murid pun jadi menggunakan para murid lain sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai individu rekan seperjuangan. Gak ada tuh yang namanya true friendship.

Hal ini mengkritik sistem belajar di dunia nyata yang seringkali lebih mengedepankan nilai tanpa memperhatikan hubungan interpersonal para pelajar. Anak-anak itu pembully? Korup? Saling nusuk dari belakang? Musuh-musuhan? Ah, gapapa, itu cara mereka belajar. Yang penting prestasinya bagus!

  1. My Youth Romantic Comedy Is Wrong, As I Expected (Yahari Ore no Seishun Love Comedy wa Machigatteiru/Oregairu)
(Gambar: c.realme.com)

Ingat karakter utama ikonik dari anime ini? Siapa lagi kalau bukan Hikigaya Hachiman! Bocah SMA yang bilang, “Masa muda adalah kebohongan.” Atau quote nyeleneh lainnya kayak, “Kalau berpartisipasi dalam setiap hal itu penting, maka berpartisipasi untuk tidak berpartisipasi juga penting.”

Hikigaya kerap mengkritik norma sosial dan standar moral yang dijumpai dalam kehidupan bersekolah. Kalo lu cakep, pinter, populer, apapun yang lu bilang atau lakukan bakal didukung satu sekolah. Kita ditunjukkan bahwa hidup bersekolah bisa begitu toksik, manipulatif, dan penuh pencitraan.

Hikigaya menolak mentah-mentah kalimat “Masa terindah dalam hidup adalah masa SMA.” Di matanya yang sering dikatain mirip mata ikan mati itu, masa SMA justru penuh dengan dosa masa muda, kompetisi yang gak adil, ajang cinta-cintaan, dan diskriminasi terhadap murid yang solo player kayak dia.

Daripada diam dan pura-pura gak lihat semua kebusukan ini, Hikigaya dengan sinis melontarkan komentar jujurnya—meski risikonya dipanggil BK, dicap aneh, dihukum ikut ekskul gak jelas, dan dibenci satu sekolah.

Karakter ini memberi kita sudut pandang kalau masa SMA, yang harusnya jadi masa untuk menimba ilmu, seringkali malah jadi panggung sandiwara anak-anak puber yang lebih peduli soal status dan image dibanding proses belajar itu sendiri.

  1. Hyouka
(Gambar: Prime Video)

“Kalau aku tidak harus melakukannya, tidak akan kulakukan. Kalau aku harus melakukannya, akan kulakukan dengan cepat.” Siapa yang menganut filosofi hidup hemat energi ala Oreki Hotarou ini?

Meski anime ini bergenre detektif ringan, sebetulnya ada kritik halus yang terselip soal dunia pendidikan. Setiap siswa dituntut buat aktif produktif, berprestasi, ikut ekskul ini itu, ikut kegiatan ini itu. Apa kabar anak introvert yang mageran kayak Oreki ini?

Padahal dia cakep, pinter di atas rata-rata, dan mungkin bisa aja jadi murid top di sekolahan kalo mau berusaha. Tapi apa? Dia gak mau berusaha. Mager. Dia gak bilang kalo siswa yang aktif itu salah, malah dia salut sama anak-anak yang penuh semangat. Cuma, gaya hidup begitu bukan gaya dia.

Makanya, Oreki stay chill dan humble tanpa merasa harus berusaha buat jadi menonjol. Ini adalah bentuk pemberontakan kecilnya terhadap sistem pendidikan yang penuh tuntutan. Secara tersirat, dia menyampaikan kalau setiap murid punya cara hidup dan belajarnya sendiri.

Kalau mau jadi murid teladan ya bagus. Kalau mau jadi murid yang santuy dan biasa-biasa aja, apa salahnya? Gak semua murid mampu dan mau memenuhi ekspektasi sekolah yang kadang ketinggian kayak ekspektasi orangtua.

  1. Blue Period
(Gambar: IMDb)

Kita masuk ke ranah seni, yang sering cuma jadi mapel pelengkap gak penting di sekolah.

Wait, emangnya seni itu gak penting, ya? Dibanding matematika, IPA, dan ilmu-ilmu lainnya, emangnya seni itu gak berguna, ya?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang direnungkan Yaguchi Yatora di awal cerita. Dia adalah cowok SMA yang berprestasi dalam bidang akademik dan pandai bersosialisasi. Jelas, ekspektasi orangtua dan guru-gurunya besar banget ke dia.

Tiap hari rajin belajar, ikut nongkrong, gak pernah bikin masalah. Hasilnya? Dia merasa hampa. Kayak robot yang cuma diprogram buat ngikut sistem. Dia akhirnya mulai bertanya, “Gua hidup buat apa?”

Sampai suatu hari, dia terpikat oleh lukisan karya kakak kelasnya dan mulai tertarik pada seni. Melalui lukisan, untuk pertama kalinya, dia merasa bisa berkomunikasi dengan jujur. Akhirnya, dia pun memutuskan buat ambil jurusan seni di universitas.

Maka terlihatlah perubahan sikap gurunya yang, bukannya mendukung, malah nyindir, “Kamu serius? Kamu ini pintar, lho, masa ngambil seni? Kalau menyesal nanti jangan salahkan Bapak, ya.” 

Seolah anak-anak yang ambil seni itu masa depannya pasti gelap dibanding yang ambil ekonomi, bisnis, hukum. Dan lagi, emangnya anak pintar gak boleh ambil seni? Bukankah nggak sedikit orang terpintar di dunia justru menjadi seniman?

Pelukis karya terkenal Monalisa misalnya, Leonardo da Vinci yang IQ-nya diperkirakan mencapai 200. Atau Michelangelo Buonarroti, pelukis karya The Last Judgement.

Di sini, kita diperlihatkan stigma terhadap jurusan non-akademik. Belajar buat profesi yang gak lukratif dianggap buang-buang waktu. Padahal, nggak sedikit seniman yang punya otak bisnis dalam bekerja, Pablo Picasso misalnya.

Anime ini juga secara nggak langsung mengkritik minimnya ruang untuk eksplorasi diri di sekolah. Kurikulum cenderung kaku, memprioritaskan mapel akademik, sehingga siswa kerap kesulitan mengembangkan kepribadian dan mengekspresikan diri.

Hal ini bikin sekolah seringkali gagal membantu para siswa mengenali diri mereka.

Artikel terkait: Sekolah Bukan Segalanya: Review Novel Kastel Terpencil dalam Cermin

Ternyata banyak ya, isu pendidikan yang bisa kita renungkan dari anime. Nilai dianggap lebih penting dari nurani, ranking lebih dihargai dari empati, dan pilihan hidup dianggap sah asal sesuai kurikulum.

Lima anime ini jadi cermin buat kita ngelihat kekurangan dari sistem dengan cara yang ringan dan menghibur. Dan satu catatan terakhir, ironisnya, pelajaran soal kemanusiaan kayak gini malah lebih sering datang dari tontonan fiksi, bukan dari ruang kelas.

Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *