Jatengkita.id – Di balik kelezatan camilan renyah yang sering kita nikmati saat menyantap soto, rawon, atau pecel, tersimpan sejarah panjang dan kearifan lokal masyarakat Jawa. Salah satu camilan yang dimaksud adalah kerupuk puli.
Sajian gurih berbahan dasar nasi ini telah menjadi bagian dari tradisi kuliner masyarakat Jawa. Lebih dari sekadar pelengkap makanan, kerupuk puli merupakan simbol dari rasa syukur, efisiensi pangan, hingga kreativitas nenek moyang dalam mengolah bahan sisa menjadi sajian bernilai.
Lahir dari Kearifan Lokal: Asal-Usul Kerupuk Puli
Kerupuk puli bukanlah sekadar hasil resep, tetapi buah dari tradisi panjang masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi prinsip “nggugu rasa” (mengikuti rasa) dan “ora ilok mubadzir” (tidak boleh membuang-buang).
Dulu, di masa ketika penyimpanan makanan masih sangat terbatas dan pemborosan dianggap sebagai perbuatan tercela, sisa nasi yang tak termakan tidak serta-merta dibuang. Sebaliknya, nasi tersebut dijemur hingga kering dan kemudian digoreng kembali hingga mengembang.
Proses transformasi nasi sisa menjadi kerupuk ini bukan hanya tentang teknik, melainkan juga menunjukkan pemahaman mendalam akan pentingnya menghargai setiap butir makanan. Dari sanalah kerupuk puli lahir sebuah camilan yang membawa filosofi, tidak hanya rasa.
Bertahun-tahun kemudian, tradisi ini terus diwariskan secara turun-temurun. Kerupuk puli pun menjelma dari yang semula hanya konsumsi rumah tangga menjadi produk rumahan yang dijual di pasar-pasar tradisional.
Kini, di tengah arus modernisasi, keberadaan kerupuk puli tetap bertahan, bahkan bertransformasi menjadi oleh-oleh khas daerah yang dibanggakan.
Ragam Nama: Gendar, Intip Goreng, dan Identitas Lokal
Salah satu keunikan dari kerupuk puli adalah banyaknya nama sebutan yang berbeda di tiap daerah. Di kawasan Jawa Timur, kerupuk ini umum dikenal sebagai kerupuk puli. Namun, saat kita bergeser ke wilayah Jawa Tengah seperti Semarang dan sekitarnya, nama “gendar” lebih sering digunakan.
Nama ini bahkan memiliki sejarahnya sendiri, berkaitan dengan teknik pembuatan yang dulunya menggunakan bahan tambahan seperti bleng (boraks alami dari air abu).
Sementara itu, di beberapa tempat lain, kerupuk puli juga kerap disamakan dengan intip goreng. Meskipun demikian, secara teknis intip lebih merujuk pada kerak nasi yang menempel di dasar dandang (periuk kukusan) yang kemudian dikeringkan dan digoreng.
Walaupun tekstur dan rasa yang dihasilkan serupa, intip dan kerupuk puli memiliki proses pembuatan yang cukup berbeda.
Keragaman nama tersebut bukan menjadi kendala, justru memperlihatkan bagaimana satu jenis makanan bisa berkembang dan menyatu dalam berbagai budaya lokal. Masing-masing daerah mengadaptasi bahan, teknik, dan penyajian sesuai dengan karakter dan selera masyarakatnya.
Baca juga: Unik! Kuliner Khas Banyumas Ini Terapkan Konsep Sustainability
Pelengkap Setia Masakan Tradisional
Tidak lengkap rasanya menyantap semangkuk rawon hangat atau lontong opor tanpa kerupuk puli di sampingnya. Selain itu, kerupuk puli juga cocok disantap bersama pecel, tahu campur, atau bahkan sekadar menjadi camilan saat santai.
Fungsi pelengkap ini menjadi salah satu alasan kenapa kerupuk puli tetap eksis di berbagai warung makan tradisional. Meskipun kini banyak jenis kerupuk instan, sebagian besar masyarakat masih setia memilih kerupuk puli karena rasanya tersendiri.

Jejak Kenangan dan Sentuhan Emosional
Kerupuk puli tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga membangkitkan memori masa lalu. Banyak orang mengingat camilan ini sebagai bagian dari masa kecil mereka, ketika nenek atau ibu menjemur kerupuk di halaman rumah, lalu menggorengnya menjelang makan siang.
Di era modern ini, kenangan tersebut menjadi sesuatu yang sentimental. Tidak heran jika kerupuk puli menjadi oleh-oleh yang dicari oleh para perantau saat mudik ke kampung halaman.
Menjaga Warisan di Tengah Modernisasi
Kini, kerupuk puli telah merambah pasar digital. Banyak produsen kecil yang memasarkan produknya melalui e-commerce, media sosial, hingga marketplace. Hal ini tentu membuka peluang baru untuk memperluas jangkauan pasar tanpa harus kehilangan jati diri produk tradisionalnya.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Tidak semua generasi muda mengenal atau tertarik dengan camilan tradisional seperti kerupuk puli.
Oleh karena itu, edukasi dan promosi menjadi penting, baik melalui kuliner wisata, festival makanan tradisional, maupun pengenalan dalam kegiatan edukatif sekolah dan komunitas budaya.
Potensi Ekonomi dan Inovasi Produk
Kerupuk puli memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama sebagai produk UMKM yang berbasis lokal. Harga bahan bakunya murah, proses pembuatannya tidak rumit, dan permintaannya cukup tinggi, terutama di musim liburan dan lebaran.
Beberapa inovasi juga mulai dikembangkan untuk menarik minat pasar yang lebih luas. Misalnya dengan menambahkan varian rasa (pedas, keju, barbeque), menggunakan pewarna alami untuk tampilan yang menarik, atau mengemasnya dalam bentuk kecil untuk anak-anak.
Tidak sedikit pula restoran atau rumah makan yang mengemas kerupuk puli sebagai signature side dish mereka. Upaya ini turut mengangkat pamor kerupuk puli sebagai bagian dari identitas kuliner daerah.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!






