Manten Kaji Semarangan, Harmoni 5 Budaya dalam Prosesi Pernikahan

Jatengkita.id – Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah, bukan hanya pusat ekonomi dan pemerintahan. Kota ini juga menyimpan kekayaan budaya yang menyatu dalam tiap helai ritual masyarakatnya. Salah satu yang paling mencolok adalah tradisi Manten Kaji.

Tradisi ini adalah sebuah prosesi pernikahan khas Semarang yang menggabungkan lima kebudayaan sekaligus, yaitu Arab, Jawa, China, Melayu, dan Eropa.

Istilah “Manten Kaji” sendiri berasal dari kata “manten” (pengantin) dan “kaji” (haji). Hal ini menandakan bahwa mempelai pria dalam prosesi ini mengenakan busana menyerupai jubah atau gamis seperti jamaah haji, sehingga tampak bak pengantin yang akan menuju Tanah Suci.

Konon, tradisi ini muncul pada era 1930-an di Semarang sebagai wujud akulturasi budaya yang hidup di kota pesisir Jawa. Kota ini sejak dahulu menjadi lampu mercusuar pelayaran dan perdagangan, tempat pertemuan banyak etnis dan budaya.

Melalui Manten Kaji, masyarakat Semarang menampilkan identitas kolektif yang kaya. Pengantin pria mengenakan sorban dan kopiah ala Arab, pengantin wanita mengenakan pakaian encim dengan hiasan payet emas ala China.

Dekorasi pelaminan yang sederhana mencerminkan jiwa pedagang pesisir, dan simbol-simbol adat Jawa seperti kembang mayang dan daun tebu tetap dipertahankan.

Dengan demikian, Manten Kaji bukan hanya acara pernikahan, melainkan juga refleksi kemajemukan budaya yang hidup berdampingan dan saling memengaruhi di Semarang.

Rangkaian Prosesi dan Simbolisme Manten Kaji Semarangan

Prosesi Manten Kaji di Semarang berjalan dengan urutan yang memadukan unsur keagamaan dan adat. Dimulai dengan busana yang berbeda dari pernikahan Jawa pada umumnya. Pengantin pria mengenakan gamis beludru panjang, sorban, dan kopiah.

Sementara pengantin wanita mengenakan model encim beludru dengan payet emas, mahkota ala Eropa, sanggul dan tusuk konde ala adat Jawa. 

Warna merah dan emas dipilih sebagai warna bawahan kedua mempelai, melambangkan kemakmuran dan keberanian yang merupakan karakter masyarakat Semarang pesisir. Simbol-simbol Jawa pun tetap hadir.

Contohnya penggunaan daun tebu yang berarti “antebing kalbu” (kemantapan hati), daun kluwih sebagai doa untuk rezeki “linuwih” (rezeki banyak), dan daun opo-opo agar kedua mempelai terhindar dari bahaya.

Manten Kaji Semarang
Kostum Manten Kaji Semarang (Gambar: regional.espos.id)

Proses adat Manten Kaji juga diiringi hiburan khas kota Semarang, yaitu kesenian Gambang Semarang. Hiburan ini mengombinasikan unsur musik Betawi dan China, menambah warna ritus yang sudah sarat simbol ini.

Baca juga: Mengenal Cucuk Lampah, Hiburan Unik dan Sakral dalam Pernikahan Adat Jawa

Melalui prosesi seperti ini, calon pengantin bukan sekadar memasuki ikatan sosial pernikahan, tetapi juga dilibatkan dalam sebuah upacara yang menghubungkan mereka dengan akar budaya, komunitas, dan nilai-nilai keagamaan.

Prosesi tersebut menjadi ajang doa bersama dan pengakuan atas kemajemukan identitas yang membentuk Kota Semarang.

Pelestarian Tradisi

Lebih dari sekadar acara, Manten Kaji memiliki fungsi sosial penting. Adat ini memperkuat jalinan antar-warga, memperlihatkan gotong-royong dalam persiapan, dan menegaskan identitas Semarang yang terbuka pada ragam budaya.

Sebagai tradisi yang terlahir dari interaksi Arab, Jawa, China, Melayu, dan Eropa, Manten Kaji mencerminkan bagaimana pluralitas dapat dirayakan melalui ritual bersama.

Namun tantangan era modern tak bisa diabaikan. Di kawasan perkotaan Semarang, sejumlah keluarga memilih mempersingkat atau merombak prosesi demi efisiensi waktu dan anggaran.

Akibatnya, sebagian elemen tradisi mulai memudar. Di sisi lain, generasi muda kadang tak lagi memahami makna simbol-simbol yang terkandung dalam Manten Kaji.

Mengantisipasi hal ini, pihak Pemkot Semarang dan sejumlah lembaga kebudayaan menggaungkan pelestarian tradisi sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage).

Beberapa komunitas bahkan mengemas Manten Kaji menjadi bagian dari festival budaya yang menarik wisatawan, sekaligus menumbuhkan kesadaran akan arti ritual ini bagi identitas daerah. 

Baca juga: Filosofi dan Mitos Kembang Mayang dalam Adat Pernikahan Jawa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *