6 Tradisi Unik Jaga Sumber Mata Air di Indonesia

Tradisi Unik Jaga Kelestarian Alam
Tadisi Unik Jaga Mata Air di Indonesia (FOTO : Indonesia Travel)

Jatengkita.id – Tahukah kamu ada beberapa kelompok masyarakat di Indonesia yang masih sangat menjaga kearifan lokal di daerahnya. Salah satu tradisi unik yang masih dijaga oleh beberapa golongan masyarakat yaitu menjaga sumber mata air dan kelautan di Indonesia.

Berikut ini mari kita mengenal beberapa kearifan lokal dalam menjaga sumber mata air dan kelauatan di Indonesia!

  1. Ithuk – Ithukan

Tradisi unik yang pertama yakni Ithuk-Ithukan. Masyarakat Suku Osing memiliki kekayaan tradisi yang tak lekang oleh zaman, salah satunya adalah ithuk-ithukan.

Tradisi Ithuk-ithukan, Cara Warga Osing Banyuwangi Bersyukur atas Sumber  Air yang Melimpah - Surabaya Liputan6.com

Tradisi ini dilakukan oleh warga Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, sebagai cara untuk menunjukkan rasa syukur atas ketersediaan air yang melimpah di desa mereka.

Beberapa waktu lalu, puluhan ibu berbaris rapi dalam busana khas Suku Osing. Para pria memakai baju hitam-hitam dan para wanita memakai kebaya hitam dan bawahan jarik Banyuwangi.

Di atas kepala mereka tersunggi baskom berisi ithuk-ithukan yang di dalamnya ada makanan menu sederhana.

Ithuk adalah bahasa setempat yang berarti alas makan yang terbuat dari daun pisang. Ratusan Ithuk tersebut siap diarak warga dusun dengan berbagai menu lainnya, seperti ingkung ayam bakar.

Usai diarak, para masyarakat di desa tersebut melangsungkan doa kemudian melepas arak-arakan yang diwakili oleh Bupati setempat.

Lalu ithuk-ithuk tersebut dimakan bersama-sama setelah berdoa bersama di sumber air tersebut.

Sumber Hajar sangat penting bagi masyarakat Rejopuro karena air nya yang sangat melimpah dimanfaatkan untuk mengairi sawah dan kebutuhan sehari hari.

  1. Mantari Bondar

Tradisi Desa Hatabosi, yang merupakan singkatan dari nama empat desa di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Haunatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok, dan Siranap, menerapkan budaya Mantari Mantari Bondar untuk menjaga sumber air di daerah tersebut.

Cerita Si "Mantari Bondar" Asal Marancar, Tapsel (Bagian 2) - Lensakini.com

Kearifan lokal desa, Mantari Bondar, berasal dari aturan adat leluhur yang berusia seratus tahun untuk menjaga hutan dan sumber air.

Menurut beberapa sumber, leluhur marga Pasaribu, yang berasal dari desa Haunatas, yang saat itu merupakan bagian dari kecamatan Marancar, memulai Mantari Bondar.

Raja Luat Marancar, yang bermarga Siregar, adalah penguasa pertama desa tersebut.

Pasaribu bersaudara kemudian diizinkan tinggal di sana oleh Raja Luat Marancar dengan syarat salah satu dari mereka harus menikahi putrinya dan memeluk agama Islam.

Sebenarnya, karena kekeringan, penduduk bermarga Siregar telah meninggalkan wilayah Marancar itu sendiri.

Namun, keluarga Pasaribu kemudian menemukan sumber air yang besar di tengah hutan gunung Sibual-bual.

Sumber air ini cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka dan bahkan mengairi sawah di sekitar mereka.

Berangkat dari sejarah tersebut Mantari Bondar harus berasal dari marga Pasaribu. Meski demikian seorang Mantari Bondar dipilih secara hukum adat dan disepakati oleh keempat desa.

Adapun seseorang yang dipilih untuk menjaga Mantari Bondar memiliki tugas yaitu, Dia memikul beban berat untuk memastikan bahwa sumber air tetap mengalir dan terjaga.

Tak hanya air, ia juga bertanggung jawab untuk melindungi hutan dari pengrusakan dan pembalakan liar.

Mantari Bondar juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa keempat desa mengikuti dan melaksanakan hukum adat.

Mantari Bondar dikelola oleh delapan Penjago Bondar, yang bertanggung jawab untuk membersihkan saluran air dan memastikan bahwa saluran air berjalan lancar.

Sektor ini menghasilkan konservasi air di Sumatra Utara, terutama di desa Hataboasi, yang dapat mengairi lebih dari 3000 hektar sawah setiap hari.

  1. Parafu

Tradisi unik selanjutnya dari Suku Mbojo di Kabupaten Bima, NTB. Masyarakat mempunyai tradisi Parafu untuk melestarikan sumber mata air. 

Parafu Dan Kearifan Menjaga Mata Air – Romantika Bima

Parafu adalah mata air tertentu yang turun temurun dijaga dan dibersihkan oleh keturunan pemangku waris Parafu.

Setidaknya terdapat empat titik Parafu di Desa Kuta, Kecamatan Lambitu, Kbupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Adapun titik Parafu yang masih bisa ditemui yaitu Lanco, Oi Mbou, Lombi, dan Ama Sele.

Sementara di Desa Sambori, ada lima parafu, yaitu La Ngganci, Matakoda, Oi Kalo, Dewa Ompu Manda dan Sanindi.

Warga di dua desa itu meyakini parafu harus dijaga kelestariannya. Pepohonan dan tumbuhan yang ada di area sekitar Parafu tidak diperbolehkan untuk ditebang.

Hingga saat ini, penduduk setempat masih mematuhi semua larangan tersebut. Mereka juga dilarang membuang hajat atau buang air sembarangan di sekitar area Parafu.

  1. Tradisi Lilifuk

Lilifuk sendiri merupakan sebuah tradisi melestarikan ekosistem terumbu karang. Tradisi ini dilakukan saat sebelum masa panen tiba.

Lilifuk Kuanheun, Kearifan Lokal yang Naik Pangkat

Pada saat tradisi ini dilakukan para masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas apapun di dalam lilifuk. Jika ada yang melanggar aturan tersebut maka akan dikenakan denda.

Memiliki bentang alam berbentuk cekung di pesisir selatan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, dikenal dengan luas karena memilki potensi ikan melimpah dan dilindugi hukum adat.

Lilifuk terbagi dua, bagian yang dangkal didominasi padang lamun, mengelilingi bagian terdalam bernama kolam Timau. Dengan kondisi terumbu karang yang menurut cerita Edo Baineo, belum terjamah aktivitas penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.

Sesuai aturan adat, sebelum masa panen tiba, tidak boleh ada aktivitas apa pun di dalam lilifuk, apalagi mengambil terumbu karang, pasir laut, dan menangkap penyu. Itulah yang membuat potensi ikan di sana melimpah.

  1. Tradisi Sasi

Masyarakat lokal Raja Ampat melakukan tradisi yang dikenal sebagai “sasi laut” sebagai tanda bahwa masa panen hasil laut telah dimulai atau selesai.

Tradisi Sasi Lompa Haruku | ANTARA Foto

Selain itu, tradisi ini juga dilakukan untuk memastikan bahwa hasil panen melimpah dengan menutup wilayah hingga waktu yang ditentukan.

Masyarakat di Raja Ampat mempercayai bahwa ketika mereka pergi ke laut, kesuksesan mereka akan hasil panen tergantung dari tradisi Sasi Laut yang dilakukan.

Kata ‘Sasi Laut’ berasal dari Bahasa asli mereka, yang artinya adalah Sumpah. Tradisi Sasi dianggap sebagai cara untuk mendapatkan izin mengambil hasil di daerah yang mereka lindungi.

Bagi mereka, tradisi Sasi Laut adalah tradisi yang suci dan semua orang harus mematuhi aturannya untuk menjaga kesucian tradisi itu.

  1. Susuk Wangan

Upacara Susuk Wangan merupakan tradisi masyarakat Desa Setren, Girimanik. Tradisi unik ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas berkah manfaat air yang melimpah untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian.

Menengok Festival Susuk Wangan, Tradisi Selamatkan Sumber Air di Kecamatan  Jambu - Tribunjakarta.com

Ithuk-Ithukin ini dilaksankan setiap setahun sekali di bulan Besar pada hari Sabtu Kliwon.

Tradisi susuk wangan ini rutin dilaksanakan setiap tahun di Desa Peron, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal.

Menurut cerita, Kiai Kisabariman, Kiai Citrogodho, dan Nyai Ukel adalah orang penting yang membangun jalur air di Desa Peron sehingga warga dapat mengairi sawah mereka. Sejak saat itu, susuk wangan telah dilakukan sebagai adat sedekah sungai.

Baca Juga Burok, Seni Tradisional Brebes yang Hampir Punah