Dibalik Fenomena Merokok Masyarakat Pedesaan

Dibalik Fenomena Merokok Masyarakat Pedesaan
(Gambar: komunitaskretek.or.id)

Jatengkita.id – Bagi masyarakat di desa, aktivitas merokok di kalangan remaja laki-laki maupun orangtua adalah hal yang sangat wajar. Fenomena merokok ini terkesan menjadi sebuah budaya lantaran banyak dijumpai dalam acara formal atau sekadar nongkrong.

Rokok bukan momok bagi penikmatnya. Bahaya dan alasan kesehatan tidak akan mempan bagi mereka. Rokok juga tidak mengenal kaya dan miskin, karena realitanya banyak dijumpai perokok dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.

Namun, tahukah kalian apa yang melatarbelakangi fenomena sosial tersebut? Mengapa merokok masih menjadi aktivitas yang sulit dihentikan? Tidakkah pilu hati kalian melihat rokok sudah seperti lifestyle?

Sistem Masyarakat Pedesaan

Salah satu sistem di masyarakat pedesaan yang menjadi unggulan adalah kekeluargaan. Budaya gotong royong menjadi ciri khas ekosistem desa, di mana banyak sekali aktivitas yang berakar pada kekeluargaan dan masih lestari diadakan sampai saat ini.

Sebut saja acara bakti sosial atau kumpul-kumpul semacam tahlilan, rapat RT, kondangan, dan lain sebagainya. Belum lagi acara selametan atau bancakan yang dalam masyarakat Jawa banyak sekali jenisnya.

Dalam acara tersebut, selalu ada sajian bernama rokok yang eksistensinya seperti air minum dan camilan. Karena itu, fenomena merokok tumbuh subur di masyarakat dan sulit untuk dihentikan.

Bagi masyarakat, menyajikan rokok adalah simbol solidaritas, bentuk menghargai, dan ungkapan terima kasih. Sungguh cara berpikir yang tidak bisa diterima!

fenomena merokok
(Gambar: komunitaskretek.or.id)

Bila barang berbahaya ini tidak disajikan, ada saja oknum yang dengan percaya diri menanyakan ketersediaan rokok. Mirisnya, para perokok pada dasarnya paham bahwa tidak ada nilai positif yang didapat dari merokok.

Mereka tahu, selain berbahaya bagi diri sendiri, merokok juga sangat berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Lebih parah lagi dengan keluarga yang hidup kekurangan, namun kepala keluarga masih menyisikan uang untuk membeli rokok, sementara istri dan anak makan tanpa gizi.

Selain itu, budaya merokok juga tumbuh subur disebabkan karena teladan turun temurun, baik dari lingkungan keluarga bahkan lingkungan sekolah atau pesantren. Anak-anak menganggap hal itu adalah aktivitas tidak berbahaya karena sering dilakukan oleh orang yang lebih tua sebagai bentuk bersosialisasi.

Sinergi Berbagai Pihak

Melansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk usia di atas 15 tahun yang merokok tembakau di Jawa Tengah sebesar 29,13 persen. Data ini mengacu pada periode Desember 2024. Jumlah tersebut hampir mencapai setengah populasi dan sangat mungkin akan terus meningkat.

Fenomena merokok tersebut tidak bisa diatasi oleh satu pihak saja, dalam hal ini pemerintah. Kebijakan dan regulasi yang mengatur larangan merokok harus benar-benar tegas ditegakkan. Upaya edukasi dari berbagai lembaga juga harus terus digencarkan.

Sementara itu, di kalangan masyarakat sendiri juga harus ada sanksi sosial yang bisa menekan pertumbuhan jumlah perokok.

Entitas keluarga harus berani bertindak untuk menekan frekuensi budaya merokok. Misalnya dengan tidak menyediakan rokok dalam acara perkumpulan dengan alasan saling menjaga kesehatan.

Tidak juga menyediakan rokok di atas meja bagi tamu. Selain itu, melarang para perokok untuk berada di area sekitar rumah bila mau merokok.

Pemilik rumah memiliki kewenangan absolut atas rumahnya dan seluruh anggota keluarga. Maka, siapapun tamu yang berkunjung, harus mengikuti aturan yang ada di rumah tersebut.

Langkah-langkah kecil namun jelas diharapkan bisa menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan kesadaran bersama. Dengan begitu, harapan menciptakan ekosistem yang sehat dan sejahtera bisa dicita-citakan semua masyarakat desa.

Ikuti saluran WhatsApp Jateng Kita untuk informasi lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *