Jatengkita.id – Ketika membeli dawet ayu Banjarnegara, kalian tentu tidak asing dengan pajangan yang terdapat pada gerobaknya. Biasanya, ada dua tokoh wayang yang terpajang di sana, yaitu Semar dan Gareng. Dua figur ini sangat akrab bagi masyarakat Jawa.
Namun, pernahkah kalian bertanya-tanya, mengapa dua wayang ini selalu hadir di gerobak dawet ayu? Apakah hanya sekadar pajangan, atau justru memiliki makna khusus?
Ternyata, kedua wayang tersebut menyimpan makna positif, terutama bagi para penjual dawet ayu. Pajangan Semar dan Gareng melambangkan musim. Jika digabungkan, kata Semar dan Gareng membentuk kata Mareng, yang dalam bahasa Jawa berarti “musim kemarau” atau “cuaca panas.”
Kehadiran Semar dan Gareng di gerobak dawet ayu merupakan simbol doa dan harapan dari penjual agar cuaca cerah dan panas ketika mereka berjualan, sebuah kondisi yang diharapkan dapat meningkatkan penjualan.
Namun, bukan berarti pajangan ini berfungsi sebagai penolak hujan. Justru, makna yang tersirat adalah doa agar jika hujan turun, hujan itu segera reda sehingga rezeki mereka tetap mengalir. Dengan demikian, istilah Mareng pada dawet ayu mencerminkan harapan dan doa dari sang penjual.
Selain bermakna sebagai harapan, pajangan tersebut juga memiliki nilai keteladanan. Seperti kita ketahui, tokoh Semar dan Gareng memiliki kisah yang sarat nilai moral. Semar dikenal sebagai penasihat kerajaan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan kebajikan.

Sedangkan Gareng memiliki riwayat sebagai sosok raja yang menjadi panutan bagi saudara-saudaranya. Karena itu, kehadiran dua tokoh ini di gerobak dawet ayu juga merepresentasikan nilai-nilai positif dan keteladanan yang ingin disampaikan oleh para penjual.
Mengutip dari hasil penelitian, makna simbolik Semar dan Gareng pada dawet ayu juga terlihat dari pemilihan bahan untuk ukiran wayang tersebut.
Biasanya, ukiran dibuat dari kayu kanthil yang diyakini memiliki unsur magis sebagai penarik rezeki atau daya pelarisan. Dalam bahasa Jawa, kanthil berarti “terpikat” atau “tertarik.”
Fakta unik lainnya, kata “ayu” pada nama dawet ayu juga memiliki makna tersendiri. Istilah ini berasal dari penggunaan centhong (sendok besar dari kayu) untuk menciduk cendol, yang dianggap sebagai perwujudan “ayu” atau kecantikan.
Hal ini terinspirasi dari sosok Dewi Srikandi yang terkenal akan parasnya yang cantik.
Dawet ayu bukan hanya minuman tradisional khas Banjarnegara yang populer di seluruh Indonesia, tetapi juga kaya akan filosofi. Mulai dari bentuk gerobaknya, alat-alat yang digunakan, hingga cita rasanya yang khas, semuanya memiliki makna istimewa.
Tak heran jika setiap tegukan dawet ayu Banjarnegara meninggalkan kesan yang tak terlupakan dan selalu membekas di hati para penikmatnya.
Menguak Perbedaan Minuman Tradisional Nusantara Es Dawet dan Cendol






