Namanya Melegenda, Ini 6 Penulis Inspiratif Asal Jawa Tengah

Namanya Melegenda, Ini 6 Penulis Inspiratif Asal Jawa Tengah

Jatengkita.id – Banyak karya sastra berkualitas lahir di tanah Jawa, termasuk daerah Jawa Tengah. Para penulis inspiratif asal Jawa Tengah menghasilkan berbagai novel, puisi, hingga cerpen, mewarnai dunia sastra Indonesia dengan berbagai cerita dan budaya Jawa yang khas.

Beberapa penulis bahkan menghasilkan karya yang tak lekang masa, hingga nama mereka terus dikenang hingga saat ini. Berikut adalah penulis inspiratif asal Jawa Tengah yang namanya menjadi legenda.

Penulis Inspiratif Asal Jawa Tengah
(Gambar : olenka.id)

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora pada 6 Februari 1925, atau tepat seabad lalu. Sebagai seorang penulis dan kritikus yang tak kenal takut, perjalanan hidup Pram dipenuhi perjuangan.

Ia pernah ditahan selama tiga tahun pada masa kolonial, satu tahun pada masa Orde Lama, dan yang paling parah, Pram dijadikan tahanan politik selama 14 tahun tanpa proses pengadilan.

Pada masa penahanannya di Pulau Buru, Pram bersama para tahanan lainnya melakukan kerja paksa. Bahkan, ia juga dilarang menulis. Namun, berkat dukungan dan bantuan rekan-rekannya, Pram berhasil menyelesaikan karya paling terkenalnya, yaitu tetralogi Bumi Manusia.

Karya ini juga dikenal sebagai Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi roman ini menceritakan kehidupan Minke, seorang putra bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa awal abad ke-20.

Tidak lama setelah diterbitkan, karya yang mengandung unsur sejarah ini sempat dilarang peredarannya karena dianggap mengandung pesan Marxisme-Leninisme.

Pada 2019, Bumi Manusia kembali ramai diperbincangkan karena diadaptasi ke layar lebar, dibintangi aktor dan aktris terkenal tanah air seperti Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, serta Sha Ine Febrianti.

Selain Bumi Manusia, Pram menghasilkan lebih dari 50 karya lainnya, seperti Gadis Pantai (1987) dan Nyanyi Sunyi seorang Bisu (1988).

Pram juga menulis cerpen dan menerjemahkan berbagai karya terkenal di dunia ke dalam bahasa Indonesia, seperti Tikus dan Manusia (1950) karya John Steinbeck dan Perdjalanan Ziarah jang Aneh (1954) karya Leo Tolstoy.

Sastrawan besar ini menghabiskan masa tuanya dengan aktif berkarya dan menulis berbagai artikel yang mengritik pemerintahan terkini, hingga akhirnya berpulang pada 30 April 2006 di usia 81 tahun.

  • Nh Dini
(Gambar : Gramedia)

Nama aslinya adalah Nuryahati Sri Hadini Siti Nukatin, dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936. Nh Dini dikenal sebagai Indonesian feminist literary figure atau sosok sastrawan feminis Indonesia. Unsur feminisme dapat terlihat pada karya-karyanya yang seringkali dianggap kontroversial.

Anak bungsu dari lima bersaudara ini mengaku tertarik menulis sejak duduk di bangku kelas tiga SD. Ia terus mengasah kemampuan menulisnya hingga karya-karyanya semakin dikenal masyarakat. Nh Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis bernama Yves Coffin pada 1960.

Sebagai istri diplomat, ia jadi sering mengikuti suaminya bepergian ke luar negeri. Perjalanannya memberikan inspirasi terhadap karya-karyanya, seperti Namaku Hiroko (1977), yang kisahnya terinspirasi dari perjalanannya mengunjungi Negeri Matahari Terbit.

Namun, pernikahannya berakhir dengan perceraian pada 1984. Dari pernikahan tersebut, Nh Dini memiliki dua anak, salah satunya adalah Pierre-Louis Padang Coffin, sutradara dari film animasi populer Despicable Me (2010) yang ikonik dengan para minionnya.

Selain Namaku Hiroko, beberapa karya Nh Dini yang terkenal antara lain Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), serta Orang-Orang Trans (1985).

Pada 2018, Nh Dini mengalami kecelakaan lalu lintas di ruas tol Tembalang, Semarang. Ia sempat dirawat di rumah sakit Elisabeth Semarang sebelum akhirnya meninggal dunia pada 04 Desember di usia 82 tahun. Pada 05 Desember 2018, jenazahnya dikremasikan di Ambarawa.

  • Sapardi Djoko Damono
(Gambar : ikj.ac.id)

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono atau yang akrab disapa Eyang Sapardi, terkenal melalui berbagai puisi karangannya yang penuh makna. Selain itu, Sapardi juga merupakan seorang dosen, kritikus sastra, dan pakar sastra.

Lahir pada 20 Maret 1940, Sapardi mengenyam pendidikan di tempat asalnya, yaitu Solo. Kegemarannya menulis membawanya ke dunia perkuliahan dengan mengambil jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Sapardi juga sempat menempuh studi di University of Hawaii, Honolulu. Ia kemudian mengambil program doktor di Fakultas Sastra Universitas Indonesia hingga lulus pada tahun 1989.

Karir penyair legendaris ini bukan hanya di bidang sastra, tapi juga di bidang pendidikan dan jurnalistik. Ia sempat menjadi dosen di Universitas Indonesia. Sapardi juga menjabat redaktur berbagai majalah seperti majalah Horison, Basis, dan Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia.

Prestasinya yang mewarnai dunia sastra Indonesia bahkan dunia, membuatnya banyak menerima penghargaan. Sedikit di antaranya adalah Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), hingga ASEAN Book Award (2018).

Sajak-sajak Eyang Sapardi yang sederhana mampu menggetarkan hati audiens. Puisi-puisinya begitu populer, baik di kalangan pecinta sastra maupun khalayak umum. Beberapa di antaranya adalah Hujan Bulan Juni, Hatiku Selembar Daun, Yang Fana adalah Waktu, Pada Suatu Hari Nanti, serta Dalam Doaku.

Selain kumpulan puisi, Sapardi juga mengarang cerpen dan novel. Novelnya yang paling terkenal adalah Hujan Bulan Juni (2015), yang telah difilmkan pada 2017 dengan disutradarai Hestu Saputra dan dibintangi Adipati Dolken.

Selain itu, Sapardi juga menerjemahkan berbagai karya ke dalam bahasa Indonesia, misalnya Lelaki Tua dan Laut (1963) dan Sepilihan Sajak Giórgos Seféris (1975) karya Giórgos Seféris.

Penyair kebanggaan Indonesia ini tutup usia pada usia 80 tahun pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan. Ia mengalami penurunan fungsi organ tubuh. Jenazahnya diistirahatkan di Taman Pemakaman Giritama, Tonjong, Tajurhalang, Kabupaten Bogor.

  • Budi Darma
(Gambar : aminef.or.id)

Menyusul kepulangan Sapardi Djoko Damono pada 2020, kabar duka kembali menghampiri dunia sastra Indonesia setahun kemudian. Budi Darma, sastrawan, kritikus sastra, sekaligus akademikus kebanggaan Indonesia meninggal dunia pada 21 Agustus 2021.

Sastrawan Jawa kelahiran 25 April 1937 ini berasal dari keluarga yang suka membaca. Hal ini membuatnya tumbuh mencintai sastra. Semasa hidupnya, Budi Darma menghasilkan berbagai karya mulai dari novel, cerpen, puisi, esai, hingga karya-karya non-sastra.

Ia juga berkecimpung di dunia pendidikan sebagai guru besar dan Ketua Jurusan Sastra Inggris. Budi Darma juga berhasil menjadi Dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni. Pada tahun 1984 hingga 1988, ia menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya).

Novelnya yang paling terkenal adalah Olenka, yang pertama kali diterbitkan tahun 1983 oleh Balai Pustaka. Novel ini mendapat Hadiah Pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 1980 dan sekaligus memperoleh Hadiah Sastra DKJ 1983.

Sedangkan salah satu kumpulan cerpennya yang paling populer, Orang-Orang Bloomington (1980), menerima menerima Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) pada tahun 1984.

  • Ahmad Tohari
(Gambar : Jawa Pos)

Para penggemar sastra tentu tak asing dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982). Novel ini sempat menuai kontroversi pada masa Orde Baru sehingga Ahmad Tohari sebagai penulisnya diinterogasi berminggu-minggu.

Karya tersebut mengangkat nama Ahmad Tohari sebagai penulis terkenal tanah air. Kini, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff.

Penulis asal Banyumas ini pernah berkuliah di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman.

Aktif di dunia jurnalistik, penulis kelahiran 1948 ini juga pernah menjadi staf redaktur harian surat kabar Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah.

Ahmad Tohari telah menulis novel dan kumpulan cerita pendek hingga memperoleh berbagai penghargaan. Pada tahun 1990, ia mengikuti International Writing Programme di Iowa City, AS, memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Lowa.

Tahun 1977, cerpennya yang berjudul Jasa-Jasa buat Sanwirya memperoleh Hadiah Harapan Sayembara Kincir Emas Radio Nederlands Wereldomroep.

Selain Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari juga menghasilkan banyak karya seperti Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Jantera Bianglala (1986), Orang-Orang Proyek (2002), hingga Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (2006), novel bahasa Jawa yang meraih Hadiah Sastera Rancagé pada 2007.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sendiri telah diadaptasi ke layar lebar pada tahun 2011 dengan judul Sang Penari. Disutradarai Ifa Isfansyah, film ini memenangkan empat Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2011.

  • Arswendo Atmowiloto
(Gambar : Anadolu Ajensi)

Warga Indonesia tentunya tak asing dengan judul sinetron lama Keluarga Cemara. Pernah tayang di stasiun televisi swasta pada tahun 1996 hingga 2005, sinetron ini didasarakan pada novel karya Arswendo Atmowiloto dengan judul yang sama.

Arswendo Atmowiloto lahir pada 26 November 1948. Selain novel, ia juga menulis cerpen, naskah drama, dan skenario film. Sebagai seorang wartawan, ia juga aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS.

Sempat dijebloskan ke penjara, Arswendo membuat sebuah tulisan berjudul Menghitung Hari (1993), yang diangkat menjadi sinetron pada 1955 dan memenangkan penghargaan.

Selain Keluarga Cemara, Arswendo juga menulis berbagai karya seperti Darah Nelayan (2001), Kau Memanggilku Malaikat (2008), serta Senopati Pamungkas (1986/2003) yang dianggap sebagai bestseller oleh Gramedia.

Prestasinya membuatnya mendapatkan penghargaan dan nominasi Festival Film Indonesia dengan kategori penulis skenario terbaik. Pada tahun 1990, Arswendo bahkan disebut sebagai “penulis Indonesia yang paling produktif” oleh Tempo.

Penulis asal Surakarta ini mangkat pada 19 Juli 2019 di usia 70 tahun karena kanker prostat. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman San Diego Hills, Karawang.

Demikianlah enam penulis inspiratif yang melegenda asal Jawa Tengah. Meski sebagian besar telah meninggalkan dunia, karya-karya mereka terus hidup melintasi zaman, menjadi cerminan identitas negeri dan inspirasi bagi para pembaca.

Terbaru untuk Anda : Eksistensi Bahasa Ngapak Banyumasan di Tengah Gempuran Modernisasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *