Sejarah Kain Lurik Klaten yang Khas dan Masih Eksis

Sejarah Kain Lurik Klaten yang Khas dan Masih Eksis
(Gambar : Pinterest)

Jatengkita.id – Kabupaten Klaten di Jawa Tengah terkenal dengan kain luriknya yang khas. Kain lurik Klaten tidak hanya mencerminkan nilai-nilai tradisi yang mendalam, tetapi juga menjadi bukti ketekunan masyarakat dalam mempertahankan dan mengembangkan warisan leluhur.

Kata “lurik” berasal dari bahasa Jawa “lorek”, yang berarti garis atau lajur. Motif dasar kain ini memang terdiri atas garis-garis vertikal atau horizontal yang membentuk pola sederhana, namun sarat makna. Kain lurik ini menyimpan sejarah panjang yang sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit.

Bahkan, dalam relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 Masehi, tergambar seseorang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Ini menjadi bukti otentik bahwa tenun lurik telah hadir dalam kehidupan masyarakat Jawa sejak lama.

Dalam Prasasti Raja Airlangga dari tahun 1033 M yang ditemukan di Jawa Timur, disebutkan pula istilah “tuluh watu”, salah satu motif lurik klasik yang hingga kini masih digunakan dalam upacara adat.

Ini menandakan bahwa tenun lurik tidak hanya digunakan sebagai pakaian sehari-hari, tetapi juga memiliki peran penting dalam berbagai ritus keagamaan dan simbol status sosial.

Klaten : Ibukota Tenun Lurik

Kain Lurik Klaten
Lurik Pedan (Gambar : rri.co.id)

Dari sekian banyak daerah penghasil lurik, Klaten layak dijuluki sebagai “Ibukota Tenun Lurik”. Hal ini karena Klaten menjadi rumah bagi ribuan perajin tenun lurik, terutama di wilayah-wilayah seperti Pedan, Cawas, Bayat, Delanggu, dan Juwiring.

Di tengah kota Klaten, tepatnya di perempatan Tegalyoso, berdiri sebuah monumen penenun lurik yang dibangun pada tahun 2012 sebagai simbol betapa pentingnya kain ini dalam identitas budaya masyarakat Klaten.

Salah satu tokoh penting dalam sejarah tenun lurik Klaten adalah Suhardi Hadi Sumarto. Ia adalah lulusan Textiel Inrichting Bandoeng (Sekolah Tinggi Tekstil Bandung) yang pada tahun 1938-1948 merintis industri lurik di Pedan, Klaten.

Namun, gejolak politik pascakemerdekaan membuat pabriknya terbengkalai. Dalam pengungsian, Suhardi tetap berbagi ilmu dengan masyarakat sekitar dan mendirikan sekolah menenun. Dari sinilah cikal bakal industri rumahan tenun lurik Pedan tumbuh subur.

Masa Keemasan dan Kemunduran

Tahun 1950-an hingga 1960-an menjadi masa keemasan bagi industri lurik Pedan. Tercatat ada lebih dari 500 industri tenun rumahan yang melibatkan sekitar 10.000 tenaga kerja.

Namun, seiring berjalannya waktu, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, industri ini mulai menurun karena banyaknya produsen beralih ke mesin tenun dan adanya persaingan dengan produk tekstil murah dari luar negeri.

Meskipun demikian, masih ada industri kecil berbasis Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang bertahan hingga kini. Produk mereka bahkan telah merambah pasar internasional, termasuk Prancis, Jerman, Australia, dan Belanda.

Lurik tidak hanya dipakai sebagai pakaian, tetapi juga dijadikan bahan untuk interior rumah, seperti sarung bantal, taplak meja, hingga aksesoris mode.

ATBM : Menjaga Keaslian dan Nilai Tradisional

(Gambar : Pengabdian UMY)

Keunikan kain lurik khas Klaten terletak pada proses pembuatannya yang menggunakan ATBM. Alat ini sepenuhnya digerakkan oleh tenaga manusia, tidak menggunakan mesin modern. Benang demi benang dianyam dengan teliti dan sabar oleh para perajin yang sebagian besar adalah perempuan.

Proses pewarnaan dimulai sejak benang masih dalam bentuk mentah, sehingga warna kain yang dihasilkan tampak sama pada bagian depan dan belakang. Teknik ini menunjukkan betapa tinggi perhatian terhadap kualitas yang diberikan oleh perajin.

Motif yang dihasilkan pun sangat beragam. Selain garis-garis lurus yang menjadi ciri utama, lurik juga memiliki motif seperti Sodo Sakler (lambang kekuatan dan keteguhan), Klenting Kuning (lambang kesucian), Tuluh Watu (motif sakral klasik), dan Tumbar Pecah, Udan Liris, Telupat, hingga Yuyu Sekandang (inovasi modern).

Setiap motif memiliki filosofi tersendiri, yang biasanya berkaitan dengan nilai-nilai spiritual, sosial, dan harapan hidup masyarakat Jawa.

Filosofi dalam Setiap Lajur

Motif lajuran (garis-garis vertikal memanjang) dianggap sebagai simbol keteguhan dan prinsip hidup yang lurus. Sedangkan pakan malang (garis horizontal) melambangkan keseimbangan dan keharmonisan.

Motif cacahan (kotak-kotak kecil dari kombinasi vertikal dan horizontal) mencerminkan keteraturan dan sistematika hidup. Motif dan warna lurik juga menunjukkan status sosial pemakainya. Golongan bangsawan menggunakan motif dan warna tertentu yang tidak bisa dipakai oleh rakyat biasa.

Dalam upacara adat seperti mitoni (tujuh bulan kehamilan) atau labuhan (ritual persembahan ke laut), kain lurik menjadi bagian penting yang menyimbolkan perlindungan, doa, dan keselamatan.

Sentra Tenun Tlingsing : Gema Tradisi di Tengah Sawah

Salah satu desa yang masih aktif dalam produksi tenun ATBM adalah Desa Tlingsing, Kecamatan Cawas, Klaten. Desa ini nyaris tak terjamah lalu lintas padat. Di kanan-kiri jalan tampak hamparan sawah dan rumah-rumah sederhana.

Namun, ketika melangkah masuk ke desa ini, suara dag-dog dari alat tenun tradisional terdengar bersahutan, seolah menjadi lagu khas kehidupan warga. Di sini, hampir setiap rumah memiliki alat tenun dan dihuni oleh perajin yang tetap setia menjalani profesinya. 

Seputar Klaten : Kisah Sukses Aerostreet Klaten, Industri Lokal yang Mendunia

Sentra Tenun Prasojo : Perpaduan Tradisi dan Inovasi

(Gambar : Kompasiana)

Berbeda dengan Tlingsing yang masih mempertahankan ATBM, Sentra Tenun Prasojo di Pedan telah mengadopsi teknologi modern dengan menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM).

Didirikan oleh Sumo Hartono pada tahun 1950, usaha ini terus berkembang dan kini menjadi salah satu pusat produksi lurik terbesar di Klaten.

Dengan memadukan teknologi dan kreativitas, Lurik Prasojo mampu memproduksi berbagai varian kain lurik dengan warna dan motif yang lebih modern. Kain-kain ini dijual di showroom yang selalu ramai pengunjung, khususnya pada sore hari saat para pekerja pulang kerja.

Tidak hanya kain, Prasojo juga menyediakan berbagai produk turunannya seperti tas, bantal, sandal, dan pakaian ready to wear yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan tren mode saat ini.

Evolusi Mode : Lurik dalam Dunia Fashion Modern

Jika dahulu lurik hanya digunakan untuk sorjan atau selendang gendong, kini posisinya telah berubah. Perancang busana Indonesia mulai melirik kain lurik sebagai bahan utama dalam koleksi mereka. Lurik dimodifikasi menjadi outer, blazer, rok, dress, hingga tas tangan yang trendi.

Tak sedikit pula produk-produk gaya hidup seperti dompet, ikat pinggang, dan sepatu yang kini menggunakan lurik sebagai bahan utama.

Perpaduan antara warna-warna tradisional dan potongan modern menjadikan lurik tidak hanya sebagai simbol budaya, tetapi juga bagian dari gaya hidup masyarakat urban.

Bahkan, dalam ajang-ajang fashion show tingkat nasional dan internasional, kain lurik tampil memukau sebagai simbol gaya yang tak lekang oleh waktu.

Lurik Sebagai Komoditas Ekonomi Kreatif

Di era industri kreatif seperti saat ini, lurik bukan lagi hanya identitas budaya tetapi telah menjadi komoditas bernilai tinggi. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap produk lokal dan keberlanjutan, kain lurik menjadi alternatif populer di tengah gempuran produk tekstil massal.

Pemerintah daerah Klaten dan berbagai komunitas pun aktif mempromosikan lurik dalam berbagai pameran dan kegiatan budaya. Beberapa desa telah menjadi desa wisata tenun, yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga menawarkan pengalaman menenun langsung bagi para wisatawan.

Kegiatan ini tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat pedesaan.

Harapan dan Tantangan ke Depan

Meski kain lurik Klaten terus berkembang, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah regenerasi perajin. Anak-anak muda cenderung enggan meneruskan profesi sebagai penenun karena dianggap tidak menjanjikan secara finansial.

Oleh karena itu, perlu dukungan dari berbagai pihak agar tradisi ini tidak tergerus zaman. Digitalisasi pemasaran, pelatihan desain modern, dan insentif pemerintah sangat diperlukan agar usaha tenun rumahan bisa bersaing di pasar global.

Jika dilakukan secara konsisten, bukan tidak mungkin lurik akan menjadi primadona baru di dunia mode berkelanjutan.

Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *