Seni Barongan Blora, Potensi Budaya Lokal yang Masih Eksis

Seni Barongan Blora, Potensi Budaya Lokal yang Masih Eksis
(Gambar : istockphoto.com)

Jatengkita.id – Seni Barongan Blora merupakan kebudayaan populer yang masih dilestarikan hingga sekarang. Meski kesenian ini juga tersebar di beberapa daerah, namun Blora merupakan daerah yang kuantitasnya lebih banyak dibanding dengan daerah-daerah lain.

Bahkan Kabupaten Blora telah dideklarasikan sebagai “Kota Barongan” dan diakui oleh Kemendikbud RI serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Salah satu Barongan Blora yang sudah terkenal adalah “Risang Guntur Seto” yang berasal dari desa Kunden.

Kesenian ini selalu menarik perhatian khalayak, sehingga sering jadi pementasan di panggung pertunjukan.

Menurut beberapa sumber, Seni Barongan Blora banyak mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh masyarakat, di antaranya kekeluargaan, kesederhanaan, kekompakan, dan keberanian yang dilandasi oleh kebenaran.

Barongan merupakan refleksi dari kesenian dan budaya dari masyarakat Blora yang memiliki sifat kerakyatan dan juga sarat makna. Kesenian Barongan Blora bersumber dari cerita Panji Asmara Bangun dalam Hikayat Panji, yaitu kisah tentang perjalanannya untuk melamar Dewi Sekartaji.

Seni Barongan Blora
(Gambar : www.kabblora.go.id)

Kesenian ini memiliki beberapa kemiripan dengan Reog Ponorogo, seperti tokoh dan pola pementasannya. Kemudian, para seniman Barongan Blora berinovasi untuk memperkuat jati diri kesenian Barongan Blora dengan membuat kepala barongan menyerupai macan atau singa yang besar.

Kata “barongan” merujuk pada suatu perlengkapan (topeng beserta aksesorisnya) yang dibuat menyerupai Singa Barong yang buas sebagai sang penguasa hutan. Kesenian ini merupakan tarian kelompok yang menirukan keperkasaan seekor singa raksasa.

Singa Barong menjadi tokoh utama dan dominan dalam kesenian ini. Alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional seperti kendang, gedhuk, bonang, saron, demung, dan kempul.

Barongan Blora memiliki keunikan tersendiri yaitu gamelan pengiring. Barongan Blora identik dengan pakem bermain dari tempo yang lambat ke tempo yang cepat. Hal ini didasarkan pada sorakan masyarakat saat pegelaran barongan.

Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat instrumen modern seperti keyboard, kendang besar, dan drum. Cerita Barongan diambil dari kisah Raden Panji Asmarabangun yang kemudian divariasi namun tidak mengubah alur cerita utamanya.

(Gambar : Badan Penghubung Provinsi Jawa Tengah)

Tokoh-tokohnya terdiri dari Singa Barong (Gembong Amijoyo), Gendruwon (Joko Lodro), Penthul (Untub, Noyontko dan Mbok Ginah), Jaranan (Pasukan dari Jenggala) dan Patih Punjangga Anom (Bujangganong).

Kesenian ini sering ditampilkan di acara besar seperti menyambut Hari Kemerdekaan, Sedekah Bumi, sunatan, resepsi pernikahan, dan acara besar lainnya. Kesenian Barongan yang masih lestari hingga kini merupakan hasil kerja sama antarpihak, baik masyarakat maupun pemerintah.

Pemerintah Kabupaten Blora menyelenggarakan Festival Barongan tiap tahunnya. Acara ini diikuti oleh beberapa paguyuban Seni Barong yang ada di Kabupaten Blora. Sebagai warisan budaya, Seni Barongan Blora harus terus dipelihara dan dikembangkan agar tidak ditelan jaman.

Seputar Blora : Industri Migas Blora : Memahami Sejarah dan Perkembangannya

Kisah Singa Barong

Singkat cerita, Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta pada Dewi Sekartaji, putri dari Raja Kediri. Lalu, Patih Bujangganong alias Pujonggo Anom diperintah untuk  meminang Dewi Sekartaji.

Keberangkatannya diikuti para prajurit berkuda yang jumlahnya lebih dari 100 ekor.  Perjalanan tersebut dipimpin oleh empat orang perwira yaitu, Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih, dan Kuda Sangsangan.

Di tengah perjalanan, tepatnya di hutan Wengker, mereka dihadang oleh Singo Barong yang merupakan jelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang bertugas untuk menjaga keamanan perbatasan. Para prajurit tersebut kalah di medan tempur.

Namun, keempat perwira telah lolos dan berhasil kabur kemudian menghadap kepada sang prabu. Pada waktu yang bersamaan, Raden Panji mengutus dua Punakawan dari Kerajaan Jenggala yaitu Lurah Noyontoko dan Untub untuk melamar Dewi Sekartaji.

Sesampainya di hutan Wengker, mereka juga bernasib sama, yaitu dihadang oleh Singo Barong. Karena makhluk ini sangat kuat, Lurah Noyontoko dan Untub meminta bantuan Joko Lodro yang merupakan saudara seperguruan dari Kedung Srengenge.

(Gambar : BaladenaID)

Berkat bantuannya, Singo Barong dapat ditaklukkan dan dibunuh. Namun, karena memiliki kesaktian, Singo Barong dapat hidup kembali. Peristiwa tersebut dilaporkan kepada Raden Panji. Dengan perasaan yang murka, ia berangkat untuk menemui Singo Barong.

Pada saat yang bersamaan, Prabu Klana yang juga menjadi korban karena prajuritnya dikalahkan, mencabut pusakanya yang berupa Pecut Samandiman. Ia mendatangi hutan yang menjadi tempat Singo Barong tersebutdan berperang.

Akhirnya, Singo Barong dapat dilumpuhkan. Namun, kekuatannya bisa dikembalikan dengan syarat ia harus mengantar Prabu Klana ke Kerajaan Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Kemudian, setelah sampai di alun-alun Kediri, pasukan Prabu Klana bertemu dengan pasukan Raden Panji.

Pertempuran keduanya tidak bisa terhindari. Perang antara Raden Panji dan Prabu Klana dimenangkan oleh Raden Panji. Kemudian, Singo Brong dikutuk oleh Raden Panji tidak akan bisa menjadi wujud manusia kembali (Gembong Amijoyo).

Para prajurit dan Bujangganong takluk di tangan Raden Panji. Kemudian, rombongan melanjutkan perjalanan untuk melamar Dewi Sekartaji. Iring-iringan inilah yang menjadi latar belakang dari Seni Barongan.

Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *