Sejarah dan Mitos Kebo Bule Milik Keraton Surakarta

Sejarah dan Mitos Kebo Bule Milik Keraton Surakarta
(Gambar : nasional.okezone.com)

Jatengkita.id – Saat menyambangi Kota Surakarta, tepatnya di Alun-Alun Kidul Solo, banyak dijumpai seekor kerbau yang sangat unik. Tidak seperti jenis kerbau pada umumnya, warna kulit kerbau ini putih dan merah muda seperti orang Eropa. Karena itu, kerbau ini sering disebut Kebo Bule Surakarta.

Masyarakat Kota Solo mengenal kerbau tersebut dengan nama Kiai Slamet. Keberadaannya sukses mengundang rasa penasaran publik, terutama para wisatawan.

Secara harfiah, “bule” dalam bahasa Indonesia berarti “biru”. Tapi, jika dilihat lebih dekat, kerbau bule sebenarnya tidak berwarna biru, melainkan putih atau keabu-abuan. Warna tersebutlah yang membedakannya dari kerbau jenis lainnya.

Kerbau bule lebih dikenal dengan sebutan kerbau albino atau kerbau putih. Warna kulit putih tersebut disebabkan oleh kondisi genetik, di mana kerbau ini tidak menghasilkan pigmen melanin yang memberikan warna pada kulit, rambut, dan mata.

Jadi, faktor tersebut disebabkan oleh gen resesif, sehingga keberadaannya jarang ditemui dibandingkan dengan kerbau biasa.

Meskipun Kebo Bule memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang sama dengan kerbau pada umumnya, tapi biasanya mereka memiliki tubuh yang lebih besar, kulit yang lebih tebal, dan cakar yang lebih kuat dibandingkan kerbau jenis lainnya. Selain itu, Kebo Bule cenderung lebih aktif di malam hari.

Kerbau milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini memiliki banyak sejarah dan mitos yang dipercaya oleh masyarakat.

(Gambar : Kilat Solo)

Baca juga : Mengenal Afifah Afra, Srikandi Literasi Asal Surakarta

  1. Asal-Usul

Kebo Bule diyakini berasal dari keturunan kerbau-kerbau milik Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said), seorang pahlawan dan raja dari Kerajaan Mangkunegaran. Lantaran asal usulnya yang berhubungan dengan bangsawan, Kebo Bule dianggap punya unsur keramat.

Sumber lain mengatakan, Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Paku Buwana II (PB II) semenjak istananya masih ada di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Adapun sumber lainnya mengatakan, Kebo Bule ini erat kaitannya dengan Ponorogo, Jawa Timur. Saat itu, Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo karena terjadi Geger Pacinan pada tahun 1742. Geger Pacinan adalah peristiwa pembantaian orang Tionghoa yang terjadi di Batavia pada tahun 1740-1743.

Peristiwa ini juga dikenal sebagai Perang Sepanjang atau Tragedi Angke. Dirinya mendapat kenang-kenangan dari Bupati Ponorogo. Setelah sampai di Ponorogo, Pakubuwono II bersemedi dan mendapat petunjuk mengenai benda pusaka bernama Kiai Slamet.

Benda itu dapat dijadikan media untuk menyejahterakan kehidupan pada masa itu. Sebagai syaratnya, Pakubuwono II harus mencari kerbau warna putih guna mendampingi benda pusaka tersebut.

Dalam peristiwa Geger Pacinan, Keraton Kartasura dianggap telah “tercemar” karena hancur akibat serbuan pemberontak. Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan komandan pasukan Belanda untuk mencari lokasi ibu kota dan keraton baru.

Konon, pada waktu pemindahan, Kebo Bule ikut berkontribusi dalam menentukan lokasi baru keraton. Menurut leluhur, Kebo Bule merupakan hadiah dari Kiai Hasan Beshari Tegalsari di Ponorogo yang diberikan kepada PB II.

  1. Simbol Keraton Surakarta

Kebo Bule dianggap sebagai penanda keberkahan dan perlindungan bagi keraton dan masyarakat. Makna Kebo Bule dalam tradisi Keraton Surakarta adalah lambang rakyat kecil karena dekat dengan aktivitas petani.

Kebo Bule juga menjadi simbol harapan agar masyarakat mendapat kemakmuran, keselamatan, dan kesejahteraan di tahun berikutnya.

  1. Prosesi Malam 01 Sura
Kebo Bule Surakarta
(Gambar : Jawa Pos)

Kirab Pusaka di Keraton Kasunanan Surakarta menjadi salah satu yang paling unik dan istimewa. Memperingati datangnya 01 Sura, kerbau akan dikirab pada malam hari dan menjadi pembuka atau pengawal dari pusaka-pusaka keraton lainnya.

Di malam 01 Sura, Kebo Bule diperlakukan berbeda. Mereka akan dikalungi bunga melati dan dijamu ubi sebelum kirab dimulai. Konon, kirab tidak akan dimulai bila rombongan Kebo Bule itu belum mau keluar dari kandangnya.

Dalam prosesi ini, Kebo Bule diarak mengelilingi keraton dan rute yang sudah ditentukan di Kota Solo. Pada proses ini, masyarakat akan menyentuh Kebo Bule atau mengambil kotorannya. Hal itu merupakan mitos yang dipercaya membawa berkah.

Oleh sebab itu, kotoran-kotoran yang jatuh menjadi rebutan oleh warga. Tak hanya kotoran saja, air kencing hewan keramat ini dilap kemudian diperas ke dalam botol atau plastik yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Kirab Kebo Bule pada malam 01 Sura ini memiliki makna bahwa masyarakat meminta keselamatan dan sarana introspeksi agar menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. 

Kebo Bule keturunan Kyai Slamet adalah simbol kebesaran dan spiritualitas yang diyakini membawa berkah bagi masyarakat yang menyaksikannya.

  1. Pantangan dan Larangan

Ada beberapa pantangan seperti larangan mendekati kandang Kebo Bule yang sakit atau mati. Selain itu, mereka tidak boleh diperlakukan sembarangan atau dianiaya karena dipercaya akan membawa nasib buruk.

Kebo Bule berstatus istimewa karna di rawat dengan baik oleh keraton. Sehingga keberadaannya benar-bener dijaga.

  1. Kepercayaan terhadap kerbau bule

Kebo Bule Surakarta dipercaya masyarakat dapat mendeteksi dan mengusir roh jahat. Hewan keramat ini juga menjadi simbol kesucian dan keberuntungan.

Warna putih pada kerbau ini sering dihubungkan dengan kesucian dan kemurnian, sehingga Kebo Bule dianggap sebagai simbol keberuntungan dan kejayaan. Kehadiran Kebo bule ini dipercaya membawa anugerah dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan.

Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *