Jatengkita.id – Boyong Grobog merupakan salah satu tradisi di Jawa Tengah yang masih dilestarikan hingga kini. Tradisi ini digelar satu hari sebelum peringatan Hari Jadi Kabupaten Grobogan, tepatnya pada tanggal 03 Maret.
Kata “Boyong Grobog” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti memindahkan grobog atau alat penyimpanan padi yang terbuat dari kayu. Di masa Sultan Demak, daerah ini merupakan tempat perburuan, sehingga banyak sekali grobog di wilayah tersebut.
Budaya ini berakar dari sejarah perpindahan pemerintahan Kabupaten Grobogan yang mulanya berkedudukan di Kecamatan Grobogan kemudian dialihkan ke Kecamatan Purwodadi pada tahun 1864. Bupati pertama bernama Adipati Pangeran Puger.
Diketahui, tradisi Boyong Grobog ini berawal dari kisah prajurit Majapahit yang diutus untuk mengirimkan senjata pusaka kerajaan dan dimasukkan ke dalam kotak besar yang terbuat dari kayu atau grobog. Sayangnya, nasib tidak berpihak padanya.
Di tengah perjalanan, prajurit tersebut dikepung oleh segerombolan penjahat yang ingin merampok. Dengan bantuan Sunan Kalijaga, usaha tersebut berhasil digagalkan dan kembali merebut grobog. Tempat grobog kerajaan ditinggal ini kemudian diberi nama Grobogan.

Di awal berdirinya Kabupaten Grobogan, hanya beberapa wilayah yang tergabung, seperti Sela, Teras, Keras, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan wilayah di Sukoharjo Utara. Lambat laun, wilayah Grobogan terus berkembang menjadi 19 kecamatan seperti sekarang.
Prosesi kirab Boyong Grobog dilakukan dari Kecamatan Grobogan yang merupakan bekas pemerintahan lama menuju pendopo Kabupaten Grobogan di Kecamatan Purwodadi. Jarak yang ditempuh berkisar 10 kilometer.
Bupati Grobogan bersama jajaran Forkopimda, Kepala OPD, Camat, dan Kepala Desa melakukan kirab menggunakan kereta kencana. Mereka mengenakan kebaya dan beskap. Pada saat kirab, Bupati Grobogan dikawal oleh prajurit yang menunggang kuda.
Kirab dibuka dengan pengambilan pusaka yang ada di dalam grobog, kemudian dibawa oleh delman. Prosesi Boyong Grobog dimulai dengan seni tari, wayang orang, dan modeling yang dilakukan oleh kalangan pelajar dan kalangan pemuda lainnya untuk menambah kemeriahan suasana.
Tak ketinggalan, para warga yang ikut memeriahkan Boyong Grobog dengan senang menanti di beberapa titik perjalanan guna ikut serta dalam arak-arakan.
Pusaka yang diarak adalah grobog kuno dari kayu jati yang dulunya digunakan untuk menyimpan dokumen pemerintahan.
Puncak prosesi ditandai dengan penyerahan Pusaka sebagai simbol amanah dan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahan.

Usai prosesi kirab, dilanjutkan dengan doa bersama dan kegiatan sedekah bumi tepatnya di halaman Pendopo Kabupaten Grobogan. Gunungan dalam tradisi ini berasal dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Grobogan.
Uniknya, para petani yang mengikuti tradisi ini ikut memeriahkan dengan membawa 10 gunungan hasil pertanian dari masing-masing desa di kecamatan Grobogan. Gunungan ini menjadi simbolik atas hasil pertanian yang semakin melimpah setiap tahunnya.
Hal ini dimaknai sebagai ungkapan syukur masyarakat atas pangan yang cukup dan melimpah. Gunungan berisi buah dan sayur mayur yang merupakan hasil bumi para petani di Kabupaten Grobogan. Tradisi kirab Boyong Grobog diakhiri dengan perebutan gunungan oleh masyarakat yang ikut meramaikan acara.
Seputar Grobogan : Semen Grobogan, Pilar Konstruksi Unggulan Jawa Tengah
Tradisi Boyong Grobog yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya menjadi aset budaya masyarakat. Hal ini bisa membangkitkan semangat gotong royong dan kerja sama masyarakat dalam menjunjung tinggi dan melestarikan tradisi sejarah.
Bagi masyarakat, tradisi ini juga sebagai ajang pengingat dan harapan, memberikan kesadaran dan kecintaan terhadap budaya. Selain itu juga sebagai bentuk apresiasi masyarakat dalam menghargai sejarah dan menghormati jasa para pemimpin terdahulu.
Follow akun instagram Jateng Kita untuk informasi menarik lainnya!